Showing posts with label Risalah. Show all posts
Showing posts with label Risalah. Show all posts

Saturday 7 May 2016

Antara Teori Relativitas dan Mukjizat Isra’ Mi’raj

Dalam teori relativitasnya yang lebih dikenal dengan E=mc2 (1905 M), Albert Einstein meng-include-kan antara ruang dan waktu. Ketika bicara soal waktu, tidak mungkin terlepas dari ruang, atau sebaliknya. Jika segala sesuatu bergerak, maka harus ada waktu yang menyertainya. Semakin cepat sesuatu bergerak, maka waktu di sekelilingnya akan menyusut jika dibanding dengan waktu sebuah benda yang geraknya lebih lambat.

Berdasarkan teori Einstein ini, jika dikhayalkan seorang astronot bergerak mendekati kecepatan cahaya selama sehari maka itu sama saja dengan 50.000 tahun tahun waktu bumi. Jika kembali ke bumi, maka tim astronot tersebut akan menemukan generasi baru sama sekali.

Kesimpulannya, semakin cepat bergerak maka waktu akan menciut. Itulah kurang lebih keyakinan kaum materealisme dimana kecepatan dan kemampuan waktu terkait erat.

Jika ada makhluk lain bukan dari bangsa manusia yang lebih kuat dari manusia, seperti jin atau malaikat, maka ia bergerak dengan hukum yang berbeda. Ia akan mampu menempuh jarak dan melintasi segala penghalang yang di luar bayangan manusia. Berdasarkan teori relatifitas, jika ada benda kecil yang bergerak melebihi kecepatan cahaya, maka jarak akan pendek dan menghapus waktu di depannya. Hingga kini, kecepatan cahaya di ruang kosong masih yang tercepat. Namun dunia ilmiah tidak mengingkari adanya kecepatan lain yang lebih cepat di ruang kosong. Meski belum ditemukan.

Apa lantas kaitan teori relativitas Einstein dengan mukjizat RasulullahShalallahu Alaihi wa Sallam, “Isra’ dan Mi’raj”?. Tulisan ini bukan menambah pembuktian kebenaran mukjizat hissi (indrawi) ini. Namun untuk melakukan pendekatan pemahaman masalah ini terhadap mereka yang mengingkari kejadian ini, baik dari kalangan umat Islam yang ragu atau orang kafir. Separuh bagian dari mukjizat ini, Allah sengaja menantang manusia yang ingkar. Separuhnya adalah perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya secara mutlak.

Mukjizat ini tidak mungkin terjadi terhadap manusia biasa dengan standar ilmiah apapun dengan segala teori dan asumsinya. Sebab jika terjadi, ia bukan mukjizat lagi dan manusia bisa menciptakan alat (mesin waktu misalnya) untuk melintasi waktu. Mukjizat indrawi tidak bisa diandalkan untuk meyakinkan risalah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, sebab mukjizat itu sudah berlalu. Mukjizat yang kekal adalah Al Quran.

Isra’ dan Mi’raj merupakan mukjizat yang mengandung unsur kecepatan yang di luar biasa yang mengantarkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam dua perjalanan. Pertama, rihlah (perjalanan) antar jarak di bumi dari Masjidil Haram di Mekah ke masjidil Al Aqsha di Palestina yang disebut isra’. Kemudian dilanjutkan “perjalanan langit” dari bumi menembus alam raya ke lapisan langit yang tidak pernah di ketahui oleh manusia kecuali melalui informasi dari Al Quran.

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Isra’: 1)

“Maha Suci Allah” kalimat ini menegaskan tentang mukjizat Isra’ dan Mi‘raj. Namun apakah perjalanan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, ini utuh dalam arti ruh dan jasadnya atau hanya ruhnya saja? Ada sebagian orang mengatakan bahwa perjalanan Isra’, terutama tentu Mi’raj terjadi terhadap Rasulullah, ketika dalam keadaan tidur atau mimpi. Artinya, hanya ruh saja tanpa jasad. Namun, secara tidak langsung, pendapat ini tidak mengukuhkan Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat.

Pendapat yang benar, wallahu a’lam bishawab, perjalanan itu terjadi pada ruh dan jasad secara utuh. Ayat di atas tegas menyatakan “biabdihi”, (dengan hamba-Nya), secara lahir maknanya utuh ruh dan jasad. Di awal ayat, ditegaskan “subhanalladzi” , Maha Suci (Allah) Yang artinya Allah Maha Suci dari tandingan, persamaan, pertolongan, suci dari kelemahan Yang mampu menciptakan kejadian maha agung. Dari awal ayat Allah sudah “meminta” kepada pembaca untuk menerima informasi kejadian agung.

Melihat kondisi kaum muslimin saat itu dan dakwahnya, mukjizat Rasulullah, ini bertujuan ingin membersihkan hati orang yang beriman kepada beliau, secara utuh dan total.

Kelompok materealis selalu mengukur segala sesuatu dengan dimensi, ruang, waktu dan materi. Walhasil mereka mengingkari fenomena Isra’ Mi’raj secara mutlak.

Dalam hadits disebutkan bahwa perjalanan pergi dan pulang dari Mekah ke Al Quds, Rasulullah saw naik “buraq“. Sebagian mengatakan buraq berwarna putih yang berkilau. Kemungkinan ini adalah kendaraan dengan kecepatan cahaya wallahu a’lam. Karena ini sebuah mukjizat, maka jasad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dijaga dari pengaruh kecepatan cahaya.

Alam raya maha luas yang disaksikan oleh manusia dengan alat-alat yang ada hanya langit dunia dan bagian kecil dari langit-langit Allah yang tujuh. Semua itu tidak ada bandingnya sama sekali dengan Allah Yang Maha Esa, Raja dan Pemilik dan Pengatur alam raya ini.

Meski teori perubahan materi menjadi energi dan kembali lagi ke materi hanya sebatas terori dan tidak bisa diterapkan, tapi bisakah ini didekatkan dengan fenomena Isra’ dan Mi’raj? Mungkinkah jasad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, berubah menjadi energi yang lebih tinggi dari cahaya sehingga bisa menembus alam raya dalam waktu singkat? Perjalanan Rasulullah dalam isra dan mikraj hanya semalam. Perjalanan itu dimulai setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam shalat isya’ bersama sahabat dan kembali shalat shubuh bersama-sama mereka.

Fenomena mukjizat itu ditegaskan oleh Allah dalam Al Quran

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang Dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu Dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (An Najm: 1-18)

Dalam sejarah, perjalanan ke langit atau perpindahan benda sangat cepat bukan hanya di jaman Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Sebut misalnya, Nabi Sulaiman memindahkan istana Balqis dalam sekejap dari Yaman ke Syam, Nabi Idris yang diangkat ke langit, Nabi Ilyas, Nabi Isa bin Maryam. Dalam sebuah riwayat hadits shahih, Nabi Isa yang diangkat Allah ke langit akan kembali ke bumi di akhir jaman. Apakah dalam fenomena ini berlaku teori relativitas Albert Eistein?

Wallahu a’lam bish shawab.

###
Sumber: hasanalbanna.com
Share:

Tuesday 29 March 2016

7 Pintu Neraka dan Siapa Para Penghuninya

Suatu ketika Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan satu per satu pintu gerbang neraka. Ketika Rasulullah mendengar tentang pintu gerbang neraka ke-7, beliau menangis, dan bahkan sampai pingsan.

Ketika itu Jibril datang dengan raut wajah yang tidak biasa, maka Nabi SAW bertanya: "Mengapa aku melihat kau berubah muka?" Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui neraka Jahannam itu benar, siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu terbesar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya".

Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Ya Jibril, jelaskan padaku sifat Jahannam." Jawabnya: "Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan selama 1000 tahun, sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun hingga putih, kemudian seribu tahun hingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar semua penduduk karena panasnya.

Demi Allah, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karena panas dan basinya. Demi Allah, andaikan satu pergelangan dari rantai yang disebut dalam Al-Quran itu diletakan di atas bukit, niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yang ke tujuh.

Demi Allah, andaikan seorang di ujung barat tersiksa, niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur karena sangat panasnya. Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya besi, dan minumannya dari air panas campur nanas, dan pakaiannya potongan-potongan api. Api neraka itu ada 7 pintu, jarak antar pintu sejauh 70 tahun, dan tiap pintu panasnya 70 kali dari pintu yang lain."

Kemudian Rasulullah SAW meminta Jibril untuk menjelaskan satu per satu pintu gerbang neraka tersebut. Jibril menjawabnya:

"Pintu yang pertama untuk orang-orang munafik, dan orang-orang yang kafir, namanya Al-Hawiyah. Pintu ke 2 diperuntukkan untuk orang-orang musyrikin bernama Jahim. Pintu ke 3 tempat bagi orang shobi'in (penyembah api) bernama Saqar.

Pintu ke 4 tempat iblis dan pengikutnya dari kaum majusi bernama Ladha. Pintu ke 5 bagi orang Yahudi bernama Huthomah. Pintu ke 6 tempat bagi kaum kafir bernama Sa'ir."

Sejenak Jibril diam, kemudian Rasulullah SAW bertanya: "Mengapa tidak kau terangkan penduduk pintu ke 7?"

Jibril sempat ragu untuk menjawabnya, tapi kemudian memberitahui Nabi Muhammad SAW siapa penduduk pintu ke 7 itu. Jibril menjawab: "Di dalamnya (Neraka Wail) orang-orang yang berdosa besar dari umatmu yang sampai mati belum sempat bertaubat."

Rasulullah SAW jatuh pingsan ketika mengetahui siapa penduduk pintu gerbang neraka ke-7, sehingga Jibril meletakan kepala Rasulullah SAW di pangkuannya. Setelah sadar, Nabi Muhammad SAW menangis, Jibril pun ikut menangis.

Kemudian Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang. Beliau juga tidak berbicara dengan siapapun selama beberapa hari, dan ketika sholat beliau menangis memilukan. Hati beliau sangat risau mengetahui bahwa ada umatnya yang akan masuk neraka.

Share:

Saturday 26 March 2016

Jawaban Fiqih

Oleh Ustadz Salim A Fillah

Para 'ulama sejati bukan hanya bertugas menjaga khazanah ilmu. Mereka harus memberi penyelesaian atas persoalan masyarakat, yang kadang justru karena sederhananya; memerlukan kedalaman pemahaman untuk menjawabnya.

“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”

Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”

Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.

Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."

Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”

Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”

“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”

Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut.

Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"

Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.

Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.

Maka dalam menjawab persoalan ummat, keduanya amat dihajatkan. Sebab ada juga waktu di mana seorang Ahli Hadits sekaligus Ahli Fiqih harus meluruskan berlebihannya orang dalam beragama, agar tak menyusahkan diri dalam apa yang syari'at memberi keluasan padanya.

“Wahai Imam”, ujar seseorang pada 'Alimnya Tabi'in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya'bi, “Jikalau aku mandi di sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”

Imam Asy Sya’bi tersenyum. “Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”
Share:

Keluarga Kesatria

Oleh Ustadz Danang Kuncoro Wicaksono

Najmuddin Ayyub, penguasa Tikrit saat itu belum menikah dalam waktu yang lama. Saudaranya yang bernama Asaduddin Syerkuh bertanya:

“Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?”

Najmuddin menjawab, “Aku belum mendapatkan yang cocok.”

“Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?”

“Siapa?”

“Puteri Malik Syah, anak Sultan Muhammad bin Malik Syah, Raja bani Saljuk atau putri Nidzamul Malik, dulu menteri dari para menteri agung zaman Abbasiyah.”

Najmuddin berkata, “Mereka tidak cocok untukku.”

Heranlah Asaduddin Syerkuh. Ia berkata, “Lantas, siapa yang cocok bagimu?”

Najmuddin menjawab, “Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”

Waktu itu, Baitul Maqdis dijajah oleh pasukan salib dan Najmuddin masa itu tinggal di Tikrit, Irak, yang berjarak jauh dari lokasi tersebut. Namun, hati dan pikirannya senantiasa terpaut dengan Baitul Maqdis.

Impiannya adalah menikahi istri yang salihah dan melahirkan ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin.

Asaduddin tidak terlalu heran dengan ungkapan saudaranya, ia berkata, “Di mana kamu bisa mendapatkan yang seperti ini?”

Najmuddin menjawab, “Barang siapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan pertolongan.”

Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di masjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai dan Syaikh tersebut minta izin Najmuddin untuk bicara dengan si gadis.

Najmuddin mendengar Syaikh berkata pada si gadis, “Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?”

Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.”

Syaikh berkata, “Siapa yang kau inginkan?”

Gadis itu menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Dia cocok untukku!"

Najmuddin bagai disambar petir saat mendengar kata-kata wanita dari balik tirai itu.

Allahu Akbar! Itu kata-kata yang sama yang diucapkan Najmuddin kepada saudaranya. Sama persis dengan kata-kata yang diucapkan gadis itu kepada Syaikh.

Bagaimana mungkin ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.

Apa maksud ini semua? Keduanya menginginkan tangan yang bisa menggandeng ke surga dan melahirkan darinya ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah dengan gadis ini.”

Syaikh mulanya kebingungan. Namun, akhirnya beliau menjawab dengan heran, “Mengapa? Dia gadis kampung yang miskin.”

Najmuddin berkata, “Ini yang aku inginkan. Aku ingin istri salihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.”

Maka, menikahlah Najmuddin Ayyub dengan gadis itu.

Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M. Namanya adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama SHALAHUDDIN AL AYYUBI (صلاح الدین ایوبی).

Dikutip dari Talkhis Kitabush Shiyam min Syarhil Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله.

Share:

Sunday 13 March 2016

S.O.P Kemenangan Umar bin Khattab

Di batas kota Madinah di suatu lembah berhamparan pasir dan kerikil. Kali itu cuaca sedang sangat terik, angin berhembus panas menyengat. Di bawah pohon yang tidak terlalu rindang, sesosok tubuh lelah dengan raut wajah gelisah terduduk.

Dialah Amirul mukminin, Umar bin Khatab. Ia sedang menunggu berita dari seberang. Berita pasukan muslimin yg sedang pergi berjihad membela agama.

Sorot matanya tajam memandang ujung hamparan padang pasir. Dari kejauhan terlihat sesosok bayangan mendekat, semakin dekat. Ternyata ia adalah utusan muslimin yang akan mengabarkan berita kemenangan pasukan yg diutus.

Tubuh utusan itu tampak lusuh, pakainnya tidak terurus penuh debu, akan tetapi pandangan matanya bersinar penuh aura kemenangan.

Utuusan itu berkata, " Wahai Amirul Mu'minin..bergembiralah atas kemenangan muslimin..bergembiralah atas kemenangan besar dari musuh kita .."

Umar bertanya , " Kapan dimulainya pertempuran itu??"

Sang utusan menjawab, " SEBELUM waktu dhuha.."

Umar bertanya lagi, " Lalu kapan kemenangan itu diraih??"

Utusan, " SEBELUM waktu maghrib, amirul mukminin.."

Mendengar jawaban itu Umar bin Khatab menangis. Air matanya deras membasahi janggutnya. Suasanapun berubah,..

Wajah sang utusan yang tadinya penuh bahagia, kini meredup. Suaranya melemah dan berkata," Lalu apa yg terjadi wahai amirul mukminin?? Kami bawakan kabar gembira kemenangan tetapi engkau malah menangis???"

Umar menjawab, " Kenapa kemenangan itu begitu LAMBAT ??? "
(padahal kemenangan itu cukup cepat, tetapi menurut Umar itu masih terhitung lambat..)

Umar berkata, "....tidaklah kemenangan al hak melawan kebathilan itu didapatkan SEBEGITU LAMBATNYA kecuali karena DOSA DOSA yang kalian lakukan, atau karena DOSA DOSA yg telah aku lakukan.."

Umar melanjutkan, " Kita adalah kaum yang Allah berikan kemenangan BUKAN KARENA banyaknya jumlah dan perlengkapan, serta canggihnya alat tempur..

Akan tetapi kita ini adalah kaum yang pastinya Allah berikan kemenangan karena SEDIKITNYA DOSA DOSA kita dan BANYAKNYA DOSA DOSA yang dilakulan oleh musuh...

Jika dosa dosa yg kita lakukan SAMA BERATNYA dengan dosa dosa yg dilakukan musuh, maka musuh akan MENGALAHKAN kita dengan banyaknya jumlah mereka dan canggihnya peralatan perang mereka."

Dan hari ini...
Tidak perlu ditanggapi, tentang alasan kita kalah hari ini!!!
Renungankan dan pahami,

‪#‎Galerisiroh‬
Ust Maman Surahman, M.Ag
Share:

Sunday 6 March 2016

Mumpung Engkau Masih Bisa Membahagiakannya

Muhammad bin Sirin bertutur,
Harga kurma di zaman pemerintahan Utsman mencapai 1000 dirham. Maka Usamah pun menuju ke pohon kurna miliknya lalu ia pun melobanginya lalu ia keluarkan jantung kurmanya lalu ia memberikannya kepada ibunya untuk di makan. Orang-orang pun bertanya : "Apakah yang mendorongmu melakukan hal ini?, padahal engkau tahu bahwa pohon kurma harganya mencapi 1000 dirham?"
Maka Usamah menjawab,

إِنَّ أُمِّي سَأَلَتْنِي وَلا تَسْأَلُنِي شَيْئًا أَقْدِرُ عَلَيْهِ إِلا أَعْطَيْتُهَا

"Sesungguhnya ibuku meminta jantung kurma kepadaku, dan tidaklah ibuku meminta sesuatupun yang aku mampui kecuali akan aku berikan kepadanya" (Taariikh Dimasq karya Ibnu 'Asaakir)

Jika engkau masih mampu untuk memenuhi permintaan dan harapan ayah dan ibumu maka lakukanlah sebelum datang masa dimana :
- mereka meminta sesuatu yg tdk bisa engkau penuhi.
- mereka telah enggan untuk meminta lagi kepadamu karena jengkel kepadamu yang hanya bisa berjanji memberikan akan tetapi tdk memenuhi janjimu.
- mereka sudah tdk bisa lagi meminta kepadamu karena mereka berdua telah meninggal dunia.
- mereka jengkel dengan dirimu yang selalu semaksimal mungkin memenuhi permintaan istrimu, sementara untuk memenuhi permintaan orang tuamu maka sloganmu "Kalau sempat..." atau "Kalau masih ada sisa harta..."

✒️ Ustadz Firanda Andirja, MA
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Share: