Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Sunday 27 March 2016

4 Cara ALLAH Memberi Rezeki

1. REZEKI TINGKAT PERTAMA (YANG DIJAMIN OLEH ALLAH)
"Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya."(QS. 11: 6)
Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Ini adalah rezeki dasar yg terendah.

2. REZEKI TINGKAT KEDUA
"Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya" (QS. 53: 39)
Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu muslim atau kafir.

3. REZEKI TINGKAT KETIGA
“... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. 14: 7)
Inilah rezeki yang disayang Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah & mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia, sejahtera & tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. REZEKI KE EMPAT (UNTUK ORANG BERIMAN DAN BERTAQWA)
".... Barangsiapa yg bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS.Ath-Thalaq/65:2-3)
Selamat menjemput rezeki, semoga berkah..
Share:

Saturday 26 March 2016

Jawaban Fiqih

Oleh Ustadz Salim A Fillah

Para 'ulama sejati bukan hanya bertugas menjaga khazanah ilmu. Mereka harus memberi penyelesaian atas persoalan masyarakat, yang kadang justru karena sederhananya; memerlukan kedalaman pemahaman untuk menjawabnya.

“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”

Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”

Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.

Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."

Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”

Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”

“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”

Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut.

Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"

Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.

Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.

Maka dalam menjawab persoalan ummat, keduanya amat dihajatkan. Sebab ada juga waktu di mana seorang Ahli Hadits sekaligus Ahli Fiqih harus meluruskan berlebihannya orang dalam beragama, agar tak menyusahkan diri dalam apa yang syari'at memberi keluasan padanya.

“Wahai Imam”, ujar seseorang pada 'Alimnya Tabi'in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya'bi, “Jikalau aku mandi di sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”

Imam Asy Sya’bi tersenyum. “Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”
Share:

Konsepsi Ketuhanan dalam Islam

Oleh : Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A
(Ketua PP MUhammadiyah)

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

DIA lah HU ALLAH yang esa yang patut disembah, tidak berputra dan tidak diputrakan

Masalah ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, semua orang pasti bertuhan dan melakukan penyembahan terhadap tuhannya itu. Persoalannya adalah tuhan yang disembahnya itu apakah Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta, atau tuhan yang justru diciptakan oleh manusia?

Dalam perspektif Islam, pengakuan adanya Tuhan sudah ada pada diri manusia semenjak dia belum dilahirkan.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
(Qs. Al-A’raf 172).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa sejak dalam alam rahim, sebelum ruh ditiupkan ke dalam tubuh, manusia sudah mengakui Allah sebagai Tuhannya. Oleh Ibnu Katsir meng hubungkan ayat ini dengan Surat Ar-Rum ayat 30 yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dengan fitrah mengakui keesaan  Allah SWT.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar-Rum 30).

Fitrah bertuhan yang dibawa manusia sejak sebelum lahir itu barulah merupakan potensi dasar yang harus dipe lihara dan dikembangkan. Apabila fitrah tersebut tertutup oleh beberapa faktor luar, manusia akan lari dan menentang fitrahnya sendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan betapa besarnya peran orang tua dalam memelihara dan mengarahkan fitrah tersebut supaya tetap dalam keislamannya.

“Tidak seorang pun yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan berperan) menjadikan anak itu menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi…” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jadi, secara esensi, tak ada seorang pun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah mereka memper tuhankan sesuatu yang bukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah. Dalam perspektif inilah kita menempatkan bahwa seorang ateis pun bertuhan, karena mereka mempertuhankan faham atau ideologi anti tuhan (ateisme).

Tanpa bimbingan wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui para rasul-Nya, fitrah bertuhan itu akan disalurkan oleh manusia sesuai dengan pengalaman dan perkembangan akal pikirannya. Tatkala secara evolusi, melalui pengalaman, manusia sampai kepada faham satu tuhan, tetapi karena tidak ada bimbingan wahyu, tuhan yang mereka yakini itu bermacam-macam jenis dan namanya. Demikian pula ritual penyembahan tuhan itu pun beragam.

Bagaimana Islam memandang fenomena satu tuhan tetapi banyak jenis dan nama serta beragam cara penyembahannya itu ? Apakah keimanan mereka seperti itu dapat diterima dan dibalasi oleh Allah SWT di Akhirat nanti dengan surga? Tentu saja Islam tidak mengakuinya, karena yang menjadi pusat dan landasan segala sesuatu dalam Islam adalah tauhidullah (la ilaha illallah). Islam tidak hanya mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi juga menjelaskan nama-nama, sifat-sifat dan bagaimana cara mengesakan-Nya. Dengan sangat tegas Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs. Thaha 14).

“Hanya milik Allah al-asma’-al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma’-al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al-A’raf 180).

Tauhid merupakan ajaran sentral seluruh Nabi-nabi mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Semua rasul yang diutus oleh Allah SWT selalu mengajak umatnya untuk hanya menyembah Allah SWT semata. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Qs. An-Nahl 36).

Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak semua manusia mau menerima seruan para rasul, sebagian tetap dengan kesesatan mereka. Sementara di antara yang beriman pun, dalam perkembangannya ada yang menyimpang dari ajaran Tauhid, seperti yang dilakukan oleh  orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masing-masing meyakini ‘Uzair dan Isa Al-Masih sebagai putra Allah. Al-Qur`an mengoreksi keyakinan yang sesat tersebut:

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (Qs. At-Taubah 30).

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”
(Qs. Al-Ma`idah 73).

Jelaslah bahwa konsep ketuhanan yang benar hanyalah yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan konsep ketuhanan yang dibuat oleh manusia. Pluralitas ketuhanan dalam sejarah tidak hanya sekadar perbedaan nama dan cara bertuhan, tetapi juga substansi ketuhanan. Jika hanya sekadar bahasa, misalnya dalam bahasa Indonesia kata rabb dan ilah kita terjemahkan dengan Tuhan, atau dalam bahasa Inggris disebut God, tentu tidak jadi masalah, karena yang dimaksud dengan tuhan dan God itu adalah Allah SWT. Tetapi jika perbedaannya sampai kepada sifat dan af’al Tuhan, apalagi satu sama lain saling bertentangan, tentu perbedaan seperti itu tidak dapat dibenarkan.

Maka logika “yang penting bertuhan, soal nama dan cara bertuhan terserah kepada keyakinan dan kultur masing-masing,” tentu saja bertentangan dengan pandangan Islam.

Teori Kebenaran Agama

Islam adalah satu-satunya agama yang diturun  kan dan diridhai Allah SWT untuk umat manusia. Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Doktrin ini ditegaskan Allah dalam dua ayat berikut ini:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”
(Qs. Ali Imran 19).

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali Imran 85).

Seluruh Nabi dan Rasul yang diutus oleh  Allah SWT membawa agama yang sama yaitu Islam. Dengan demikian seluruh nabi-nabi dan para pengikutnya adalah Muslimun. Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani berebut mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk agama mereka, Allah membantahnya dan mengatakan bahwa Ibrahim itu Muslim.

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang Hanif dan Muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (Qs. Ali Imran 67).

Nabi Ibrahim dan juga Nabi Ya’qub telah memesankan kepada anak-anaknya untuk menjadi orang-orang Islam.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (Qs. Al-Baqarah 132).

Perbedaan ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari masa ke masa hanyalah dari aspek syariat, bukan dalam aspek akidah dan informasi tentang alam semesta. Allah berfirman:

“…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...” (Qs. Al-Ma`idah 48).

Sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad SAW membawa syariat (baca: agama) yang telah disempurnakan dan dinyatakan oleh Allah sebagai agama yang diridhai-Nya untuk seluruh umat manusia sampai Hari Akhir nanti. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Ma`idah 3).

Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT, maka otomatis agama-agama lain yang dianut dan diyakini oleh sebagian umat manusia ditolak kebenarannya, bukan keberadaannya. Sekali lagi, yang ditolak adalah kebenarannya, bukan keberadaannya! Keberadaannya tidak ditolak karena Allah tidak mau memaksa manusia untuk memeluk agama Allah. Islam mengajarkan kebebasan memilih agama. Hanya saja jika manusia memilih agama selain Islam, di Akhirat nanti mereka termasuk orang-orang yang merugi.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah 256).

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Qs. Yunus 99).

Jika kebenaran agama-agama lain selain  Islam ditolak, bagaimana kita memahami firman Allah berikut ini?

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Qs. Al-Baqarah 62).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini turun dilatarbelakangi oleh pertanyaan Salman al-Farisi kepada Rasulullah SAW tentang teman-temannya dalam agama yang dipeluknya sebelum Islam. Teman-teman Salman itu mengerjakan ibadah shalat dan puasa menurut syariat yang berlaku sebelum Nabi diutus dan juga percaya dan memberikan kesaksian bahwa Nabi Muhammad akan diutus. Setelah Salman selesai memuji teman-temannya, Rasulullah menyatakan: “Hai Salman, mereka termasuk penghuni neraka.” Jawaban Rasulullah SAW itu terasa berat bagi Salman. Dalam pikiran Salman tentu timbul pertanyaan, kenapa harus masuk neraka padahal mereka telah beriman dan menjalankan syariat yang berlaku waktu itu. Andaikata mereka ber temu dengan Nabi seperti halnya Salman, tentu mereka akan ber iman juga. Kega lauan hati Salman itu dijawab oleh Allah dengan menu run kan ayat ini.

Setiap pemeluk agama Allah yang hidup pada zaman Rasul-rasul terdahulu atau sebelum Nabi Muham mad diutus, jika mereka benar-benar beriman dengan Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal shaleh sesuai syariat yang berlaku waktu itu, tentu mereka akan men dapatkan ganjarannya, sama seperti ganjaran yang didapat oleh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW setelah beliau diutus. Andaikata orang-orang Yahudi dan Nasrani benar-benar mengimani dan mengikuti ajaran Taurat dan Injil sebagai kitab suci mereka, tentu mereka akan beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang telah diberitakan kedatangannya dalam dua kitab suci tersebut. Karena Nabi Muhammad SAW diutus sebagai penutup dari rantaian Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebelum nya yang kesemuanya membawa misi yang sama yaitu beribadah kepada Allah dan menjauhi Thaghut.

Itulah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Salam dan Ubayya bin Ka’ab dari komunitas Yahudi Madinah, Tamim ad-Dari dan Adi bin Hatim dari komunitas Nasrani Madinah serta Raja Najasyi dari Habsyah. Itu jugalah yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi yang sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk Nasrani dan pernah berguru kepada pendeta Buhaira.

Andaikata orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengaku beriman dengan Allah dan Hari Akhir tidak mau beriman dengan Nabi Muham mad SAW, maka mereka tidak termasuk yang mendapatkan janji Allah dalam ayat di atas (untuk mendapatkan pahala dari iman dan amal shalih nya), karena klaim keimanan mereka tidak benar dengan menolak kerasu lan Nabi Muham mad SAW. Dalam konteks inilah Nabi bersabda:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda: “Demi Zat Yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang pun Yahudi dan Nasrani dari umat ini yang mendengar aku kemudian meninggal dunia dan dia belum beriman dengan kerasulanku kecuali dia termasuk penghuni neraka” (H.R. Muslim).

Di samping itu, memahami Surat Al-Baqarah ayat 62 haruslah dalam kesatuan ajaran Al-Qur`an. Bukankah ayat-ayat Al-Qur`an satu sama lain saling menafsirkan. Hubungkan juga penafsiran ayat ini dengan ayat-ayat tentang iman dengan segala kriteria dan konsekuensinya. Apakah keimanan orang-orang Yahudi dan Nasrani sekarang ini sudah sesuai dengan kriteria keimanan yang dijelaskan dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an? Siapa saja yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW, termasuk Ahlul Kitab, masuk dalam kategori penghuni neraka sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6:

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”

Jadi, Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW tidaklah yang termasuk dalam pengertian Surat Al-Baqarah 62, sehingga di akhirat kelak mereka tidak termasuk golongan yang selamat dari api neraka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “kebenaran agama secara total” hanya ada pada Islam, sebagai satu-satunya agama Allah. Yang dimaksud dengan “secara total” adalah apabila kita menimbang dan menilai satu agama secara totalitas, bukan secara parsial. Hal ini berarti  Islam tidak menafikan “kebenaran parsial” yang ter dapat dalam agama-agama lain, terutama dari aspek muamalah dalam pengertian yang lebih luas, yaitu hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ajaran cinta kasih, tolong menolong, solidaritas, per satuan, keadilan, kejujuran, kebersihan, disiplin, menuntut ilmu, bekerja dengan rajin dan giat, memelihara lingkungan dan lain sebagainya akan kita temukan tidak hanya dalam ajaran Islam semata, tetapi juga pada ajaran agama-agama lain.

Dalam aspek muamalah ini Islam bersikap fleksibel, semua yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dalam perspektif seperti itu kita menilai kebenaran yang terdapat dalam berbagai macam agama, bukan dalam pengertian totalitas sebagai agama.

Ada pandangan yang mengibaratkan agama sebagai “kendaraan menuju satu tujuan,” Pandangan ini menyatakan bahwa yang penting adalah tujuan yang sama, sedangkan kendaraan yang dinaiki dan jalan yang ditempuh boleh berbeda-beda, toh pada akhirnya semua akan sampai di tempat yang sama.

Pandangan ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Islam. Dalam perspektif  Islam, perbedaan kendaraan dan jalan yang ditempuh itu memang dibolehkan, asal semua kendaraan yang dinaiki itu laik jalan, sehingga dapat mengantarkan ke tujuan dengan selamat dan jalan yang ditempuh pun menuju ke arah yang sama.

Apabila ajaran Islam dipelajari dengan baik dan rinci, kita akan mengetahui bagian mana yang tidak boleh berbeda dan bagian mana pula yang memberikan keleluasaan untuk berbeda. Bagian-bagian yang boleh berbeda itu sajalah yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang beragam untuk mencapai tujuan. Misalnya, model bangu nan masjid boleh beragam, asal semuanya meng hadap kiblat. Warna pakaian boleh berbeda, asal semua menutup aurat. Model masjid dan pakaian dalam hal ini adalah dua contoh keraga man yang dibenarkan, yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang berbeda itu, tetapi shalat menghadap kiblat dan menutup aurat adalah dua hal yang tidak dapat diibaratkan kendaraan dan jalan yang boleh berbeda, karena perbedaannya bersifat substantif.

Dua contoh ini cukup untuk sekadar ilustrasi bahwa dalam Islam ada ajaran yang statis, tsabit, tidak dapat dirubah dan berbeda, dan ada juga ajaran yang dinamis yang dapat menerima perobahan dan perbedaan.

Tidak semuanya dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan untuk mencapai satu tujuan, apalagi menyamakan persoalan ketuhanan, kerasulan dan kitab suci sebagai hanya sekadar kendaraan dan jalan. Analogi seperti itu adalah analogi yang sangat lemah, baik dari segi logika maupun teologi.
—------------------—
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ  ۙ 
=================================
Sumber :Majalah Bulanan TABLIGH {www.alsofwah.com}
Share:

Monday 14 March 2016

Larangan Memandang ke Atas Ketika Sholat

Mungkin kita pernah melihat sebagian orang yang sedang mengerjakan shalat terkadang memandang ke atas, tidak melihat ke tempat sujud. Padahal perbuatan tersebut telah dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengatakan:

لَيَنْتَهِيَنَّ أَقْوَامٌ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي الصَّلاَةِ أَوْ لاَ تَرْجِعُ إِلَيْهِمْ.

“Hendaklah orang-orang benar-benar menyudahi mengangkat pandangan mereka ke atas langit ketika shalat, atau pandangan mereka tidak akan kembali kepada mereka.” (HR. Muslim)

Anas bin Malik radhiyaAllahu anhu berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَا بَالُ أَقْوَامٍ يَرْفَعُوْنَ أَبْصَارَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ فِي صَلَاتِهِمْ. فَاشْتَدَّ قَوْلُهُ فِي ذَلِكَ حَتَّى قَالَ: لَيَنْتَهُنَّ عَنْ ذَلِكَ أَوْ لَتُخْطَفَنَّ أَبْصَارُهُمْ.

“Mengapa orang-orang itu mengangkat pandangan mereka ke langit ketika shalat.” Ucapan beliau sangat keras dalam masalah ini, sampai-sampai beliau mengatakan:” Hendaknya mereka benar-benar menyudahi hal itu atau pandangan mereka benar-benar akan disambar/diambil.” (HR. al-Bukhari)

Hadits di atas merupakan ancaman keras bagi siapa saja yang mengangkat pandangan ke atas ketika shalat. Oleh karenaitu para ulama bersepakat bahwa perbuatan tersebut dilarang. Maka  itu, siapa dari kita yang masih mengerjakannya karena belum tahu hukumnya, hendaknya ia menyudahinya, tidak mengerjakannya lagi, atau kalau tidak ...... . wa na’udzu billah min dzalik.

Adapun yang disunnahkan adalah memandang ke tempat sujud. Para sahabat berkata:

كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى طَأْطَأَ رَأْسَهُ وَرَمَى بِبَصَرِهِ نَحْوَ اْلأَرْضِ.

" Adalah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dahulu apabila mengerjakan shalat beliau menundukan kepalanya dan mengarahkan pandangannya ke bumi (bawah)." (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)

Ibunda kita -kaum mukminin- Aisyah radhiyaAllahu anha bertutur:

لَمَّا دَخَلَ الْكَعْبَةَ مَا خَلَفَ بَصَرُهُ مَوْضِعَ سُجُوْدِهِ حَتَّى خَرَجَ مِنْهَا.

“Ketika masuk ke Ka’bah, pandangan beliau shallallahu alaihi wa sallam tidak berpindah dari tempat sujud hingga keluar darinya.” (Hadis sahih riwayat al-Baihaqi dan al-Hakim)

Semoga Allah memberi taufik kepada kita untuk dapat mengerjakan shalat dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam. Aamiin, ya Rabb.

Sumber: Majelis Ilmu ICC DAMMAM KSA, [14.03.16 11:51]
Share:

Saturday 12 March 2016

Kafir yang Adil atau Muslim yang Dzalim?

Benarkah “kafir yang adil lebih baik dari pada muslim yang zalim.” Katanya ini perkataan Imam Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Apa itu benar? Ini banyak disebarkan di tengah mayarakat jakarta yang sedang tegang pemilu.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Kita perlu membedakan antara menilai status dengan menjalin kerukunan. Ada banyak term dan sudut pandang ketika seseorang hendak menilai status. Dan standar dalam masalah ini adalah bagaimana Tuhan menilai, bukan semata logika manusia. Jika semua harus dikembalikan kepada logika manusia, tidak akan ada yang baku di sana. Di samping logika itu terbatas, masing-masing logika juga memiliki standar yang berbeda.

Bagi muslim, menilai baik dan buruk, dikembalikan kepada standar wahyu yang diturunkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu al-Qura dan sunah, dan bukan semata logika.

Dalam teori humanis, semua manusia dianggap sama. Karena semuanya makhluk tuhan yang punya hak hidup yang sama. Tentu saja prinsip ini sangat berbeda dengan yang diajarkan dalam islam. Dalam al-Quran, Allah mengajarkan bahwa derajat manusia berbeda-beda tergantung dari tingkat ketaqwaan mereka kepada-Nya. Allah berfirman,

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Manusia yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertaqwa.” (QS. al-Hujurat: 13)

Karena itulah, orang muslim jelas tidak sama dengan orang kafir. Dalam al-Quran, Allah menyebut orang muslim yang beramal soleh dengan khoirul bariyah (sebaik-baik makhluk). Sementara orang non muslim disebut dengan syarrul bariyah (makhluk yang buruk).

Allah berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ ( ) إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ أُولَئِكَ هُمْ خَيْرُ الْبَرِيَّةِ

Sesungguhnya orang-orang yang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang yang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk. ( ) Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. (QS. al-Bayyinah: 6-7).

Islam tidak mengajarkan rasis. Karena standarnya kembali kepada kedekatan dia kepada Tuhan, bukan kepada latar belakang suku dan ras. Siapapun yang muslim, apapun latar belakangnya, warna kulitnya, bentuk fisiknya, dst, mereka orang yang baik di hadapan Tuhannya.

Ini sangat berbeda dengan prinsip yang diajarkan dalam agama yahudi. Siapapun orang gentile dianggap hina. Maksud gentile adalah mereka yang bukan keturunan bani Israil. Sekalipun yahudi itu jahat, mereka lebih dihormati dari pada non yahudi yang baik. Karena penilaian mereka dibangun berdasarkan pemahaman rasis.

Kafir yang Adil atau Muslim yang Dzalim?

Keadilan memang landasan yang paling penting dalam sebuah pemerintahan, namun siapa bilang hanya orang kafir yang memilikinya? Kondisi yang sangat mustahil, ketika masyarakat muslim seantero jakarta kalah adil dengan 1 orang kafir. Logika mana yang bisa menjelaskan hal ini?? Kalimat ini diangkat penuh dengan muatan kepentingan.

Pernyataan bahwa “Pemimpin kafir yang adil lebihi baik dari pada pemimpin muslim yang dzalim” ini kalimat racun yang dihembuskan orang syiah untuk memberi kesempatan bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin.

Kita simak pengakuan Dr. Thaha Dailami – da’i di Baghdad – Iraq, saksi sejarah Invansi Amerika ke Iraq –,

Bahwa manusia yang paling berperan dalam invansi USA di Iraq adalah orang syiah. Karena mereka punya kepentingan untuk menggusur muslim ahlus sunah.

Dalam artikelnya, Dr. Thaha Dailami menuturkan,

والملاحظ تاريخياً وواقعياً أن الشيعة – كلما هدد البلاد خطر خارجي، أوسعوا هم إلى استقدامه – يبدأون بإشاعة مقولة خطيرة، ونشرها بين الناس تنص على أن: (الكافر العادل خير من المسلم الجائر). وقد انتشرت هذه المقولة أيام التهديدات الأمريكية قبيل غزو العراق

Catatan sejarah dan realita, bahwa syi’ah – ketika negara mendapat ancaman dari luar – mereka (syiah) adalah manusia yang berusaha menyambut baik kehadirannya. Mereka awali dengan menyebarkan kalimat motivasi yang berbahaya. Mereka sebarkan di tengah masyarakat pernyataan,

الكافر العادل خير من المسلم الجائر

“Kafir yang adil lebih baik dari pada muslim yang dzalim.”

Mereka sebarkan pernyataan ini pada masa invansi amerika sebelum perang Iraq. (at-Tasyayyu’ wa Qabiliyah al-Isti’mar – bagian 1).

Dan ternyata ini sambungan dari sejarah syiah sejak masa silam. Sekitar tahun 656 H, bani Abbasiyah yang berdikari di Baghdad, tepatnya di masa Khalifah al-Musta’shim Billah, runtuh di tangan bangsa Mongol. Peran terbesarnya karena pengkhianatan yang dilakukan perdana menteri Ibnul Alqami, orang syiah rafidhah.

Tatkala pasukan Mongol mengepung benteng Kota Baghdad pada tanggal 12 Muharram 656 H, mulailah perdana menteri Ibnul Alqami menunjukkan pengkhianatannya. Dial orang yang pertama kali menemui pasukan Mongol, bersama keluarga, pembantu, dan pengikutnya menemui Hulaghu Khan untuk meminta perlindungan. Kemudain dia kembali ke Baghdad lalu membujuk Khalifah agar keluar bersamanya untuk menemui Hulaghu Khan dengan usulan, hasil devisa dibagi, setengah untuk Khalifah dan setengah untuk Hulaghu.

Berangkatlah Khalifah bersama para qadhi, ahli fiqh, kaum sufi, tokoh-tokoh negara, masyarakat dan petinggi-petinggi negara dengan 700 pengendara. Tatkala mereka hampir mendekati markas Hulaghu mereka ditahan oleh pasukan Mongol dan tidak diizinkan bertemu Hulaghu kecuali Khalifah bersama 17 orang saja. Mereka dengan mudah diteror, diancam, diintimidasi dan dipaksa agar menyetujui apa yang diinginkan Hulaghu.

Kemudian Khalifah kembali ke Baghdad bersama Ibnu al-Alqami dan Nashiruddin ath-Thusi yang sama-sama syiah. Di bawah rasa takut dan tekanan yang hebat, Khalifah pun mengeluarkan emas, perak, perhiasan, peramata, dan barang-barang berharga lainnya yang jumlahnya sangat banyak untuk diserahkan kepada Hulaghu. Akan tetapi sebelumnya, Ibnu al-Alqami bersama bersama Nashriuddin ath-Thusi sudah membisiki Hulaghu agar tidak menerima tawaran perdamaian dari Khalifah. Mereka pun mendorong Hulaghu agar menghabisi Khalifah.

Tatkala Khalifah kembali dengan membawa barang-barang yang banyak, Hulaghu justru menginstruksikan agar mengeksekusi Khalifah. Maka pada hari Rabu tanggal 14 Shafar terbunuhlah Khalifah al-Musta’shim Billahi.

Bersamaan dengan gugurnya Khalifah, pasukan Mongol pun menyerbu masuk ke Baghdad tanpa perlawanan yang berarti. Dengan demikian, jatuhlah Baghdad di tangan pasukan Mongol. Dilaporkan bahwa jumlah orang yang tewas kala itu adalah 2 juta jiwa. Tak ada yang selamat keucali Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang meminta perlindungan kepada pasukan Mongol atau berlindung di rumah Ibnu al-Alqami serta para konglomerat yang membagi-bagikan harta mereka kepada pasukan Mongol dengan jaminan keamanan pribadi..! (https://kisahmuslim.com/)

Untuk menyambut Hulaghu Khan sebagai penguasa Baghdad yang kedua, mereka menyebarkan kaliat di atas,

الكافر العادل خير من المسلم الجائر

“Kafir yang adil lebih baik dari pada muslim yang dzalim.”

Yang menyebarkan motivasi ini seorang tokoh syiah bernama Ibnu Tahwus.

Dalam catatan sejarah tokoh Syiah, Ibnu Thaqthaqi dinyatakan,

أن ابن طاووس أصدر فتوى لهولاكو بتفضيل الكافر العادل على المسلم الجائر

“Bahwa Ibnu Thawus menerbitkan fatwa untuk mendukung Hulaghu Khan, dengan lebih mengedepankan orang kafir yang adil dari pada muslim yang dzalim.” (al-Fakhri fil Adab as-Sulthaniyah, hlm. 17).

Mengingat Syiah itu tukang dusta, dengan mudah mereka menyebut itu pernyataan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Meskipun sahabat Ali berlepas tangan dari semua klaim mereka. Anda bisa pelajari:

https://konsultasisyariah.com/19991-doktrin-aliran-syiah-ya…

Mengapa syiah Membantu Orang Kafir?

Anda tidak perlu heran, karena syiah, saudara Yahudi dan pembela orang kafir. Banyak pengkhianatan yang dilakukan orang syiah untuk membela orang kafir.

Ahmad Nua’imi – mantan syiah yang dieksekusi mati – membuat syair, membongkar pengkhianatan syi’ah sepanjang sejarah, (dalam kurung adalah jawabannya),

من الذي غدر بالخليفة العباسي الراضي بالله؟ البويهيون (شيعة)

Siapa yang mengkhiyanati khalifah Abbasiyah Al-Radhi billah? Kaum Buwaihy (syi’ah)

من الذي مكن للتتار دخول بغداد؟ ابن العلقمي (شيعة)

Siapa yang membuka jalan bagi bangsa Tatar masuk ke Baghdad? Ibnu Al-Alqamy (Syi’ah)

من الذي كان يزين لهولاكو سوء أعماله؟ نصير الطوسي (شيعي)

Siapa yang menganggap baik tindakan Hulagu Khan? Naseer Ath-Thusy (Syi’ah)

من الذي أعان التتار في هجومهم على الشام؟ (شيعة)

Siapa yang membantu Tatar dalam penyerbuannya ke Syam? (Syi’ah)

من الذي حالف الفرنجة ضد المسلمين؟ الفاطميون (شيعة)

Siapakah yang bersekutu dengan prancis melawan kaum muslimin? Negara Fathimiyyah (Syi’ah)

من الذي غدر بالسلطان السلجوقي؟ طغرل بك البساسيري (شيعة)

Siapa yang mengkhianati kesulthanan Seljuk Raya? Tugril Bek al-Basasiri (Orang Syi’ah)

من الذي أعان الصليبيين على الاستيلاء على بيت المقدس؟ أحمد بن عطاء (شيعة)

Siapa yang membantu kaum salib menguasai Baitul Maqdis? Ahmad bin Atha’ (Syi’ah)

من الذي دبر لقتل صلاح الدين؟ كنز الدولة (شيعة)

Siapa yang mendalangi pembunuhan Sulthan Shalahuddin Al-Ayyuby? Kanzud daulah (Syi’ah)

من الذي استقبل هولاكو بالشام؟ كمال الدين بن بدر التفليسي (شيعة)

Siapa yang menyambut kedatangan Hulagu Khan di Syam? Kamaluddin bin badr Ath-Taflisy (Syi’ah)

من الذي سرق الحجر الأسود وقتل الحجيج في الحرم؟ أبو طاهر القرمطي (شيعة)

Siapakah yang mencuri Hajar Aswad dan membantai jama’ah haji di Masjidil Haram? Abu Thahir Al-Qarmathy (Syi’ah)

من الذي ساعد محمد علي في هجومه على الشام؟ (الشيعة)

Siapa yang membantu Muhammad Aly dalam penyerangannya terhadap Syam? (Syi’ah)

من الذي ساعد نابليون في هجومه على الشام؟ (الشيعة)

Siapa yang membantu Napoleon Bonaparte dalam penyerangannya terhadap Syam? (Syi’ah)

وحديثاً….

Dan terkini

من الذي يهاجم المراكز الإسلامية باليمن؟ الحوثيون (شيعة)

Siapa yang menyerang Markaz-Markaz Islamiyah di yaman? Kaum Hutsi (Syi’ah)

من الذي بارك الغزو الأمريكي لبلاد العراق؟ السيستاني والحكيم (شيعة)

Siapa yang memberkati invasi Amerika atas Syam? As-Sistany & Al-Hakim (Syi’ah)

من الذي بارك الغزو الصليبي لبلاد أفغانستان؟ إيران (شيعة)

Siapa yang mengapresisi invasi salibis atas Afghanistan? Iran (Syi’ah)

Semoga Allah menyelamatkan kita konspirasi orang kafir dan kaum syiah. Amin.

Sumber: konsultasisyariah.com
Share:

Friday 11 March 2016

BERSIKAP ADIL DAN BIJAKSANA DALAM BERGAUL

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Janganlah seorang mu’min lelaki membenci seorang wanita mu’minah. Karena, kalaupun ia tidak menyenangi suatu karakter yang ada padanya, tentu ia menyenangi karakter lain yang ada padanya” [1]

Hadits ini mengandung dua hikmah yang agung.

1. Arahan untuk bergaul dengan isteri, kerabat dekat, teman, orang yang bekerja sama dengan anda, dan semua yang ada keterkaitan dan hubungan antara anda dan dia. Yaitu, seyogianya anda tata batin anda dalam bergaul dengannya, bahwa pasti ia mempunyai cela atau kekurangan atau hal lain yang tidak anda sukai. Jika anda dapati hal yang demikian, bandingkanlah itu dengan kuatnya pertalian dan kesinambungan cinta antara anda dan dia yang wajib atau seyogianya anda bina, dengan mengingat sisi-sisi kebaikan, maksud-maksud baik yang bersifat umum atau khusus yang ada pada dirinya. Dengan menutup mata dari sisi-sisi keburukkan dan memandang sisi kebaikan, persahabatan dan tali hubungan akan langgeng dan ketenteraman batin akan terwujud bagi anda.

2. Yaitu hilangnya kegelisahan maupun keguncangan,langgengnya ketulusan cinta, keberlanjutan menunaikan tuntunan bergaul yang bersifat wajib maupun sunnah, dan terwujudnya ketentraman batin antara kedua belah pihak.

Baransiapa yang tidak mengambil pelajaran dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, tetapi bahkan ia melakukan sebaliknya, yaitu dengan memperhatikan sisi-sisi keburukan dan membutakan mata dari melihat sisi-sisi kebaikan, maka pasti ia akan guncang dan gelisah, dan pasti tidaklah mulus cinta yang ada antara dia dan orang yang sudah terjalin hubungan dengannya. Disamping itu, sejumlah hak maupun kewajiban yang harus dipelihara oleh masing-masing dari keduanyapun akan putus.

Banyak tokoh atau pahlawan yang mampu menguatkan hatinya untuk sabar dan tenang saat terjadinya bencana atau malapetaka besar. Namun, di saat menghadapi perkara-perkara remeh dan sederhana, maka justeru guncang, dan kepolosan hatinya tidak jernih lagi. Sebabnya adalah karena mereka dapat menguatkan hati dalam menghadapi perkara-perkara besar,namun saat menghadapi perkara-perkara kecil, justeru mereka biarkan diri mereka tanpa kontrol, sehingga membahayakan mereka dan berefek buruk pada ketenangan mereka.

Orang yang berkepribadian kokoh mampu menguatkan hatinya untuk menghadapi perkara kecil maupun besar. Ia memohon pertolongan Allah untuk menghadapinya dan memohon agar Allah tidak menitipkan dirinya kepada dirinya walau sekejap mata. Maka, di saat itulah perkara kecil menjadi mudah baginya, sebagaimana perkara besar pun menjadi mudah. Dan, ia tetap berjiwa tenteram dan berhati tenang dan nyaman.

اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ  ۙ
=================================
Sumber : [Disalin dari kitab Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penulis Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'di, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma'ruf, Diterbitkan Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Hadits Riwayat Muslim, Muslim bin Al-Hajjaj An-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab Ar-Radha bab Al-Washiyyah bin Nisa'
Share:

Friday 4 March 2016

Sikap Seorang Muslim terhadap Para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu'alalaihi wa Sallam

Sikap Seorang Muslim terhadap Para Sahabat Nabi Muhammad Shallallahu'alalaihi wa Sallam 🍂

بسم الله الرحمن الرحيم

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِى فَوَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيفَهُ

“Janganlah kalian mencerca sahabatku, janganlah kalian mencerca sahabatku, demi Allah yang jiwaku ada di tangan-Nya, andaikan seorang dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai segenggam emas yang disedekahkan oleh sahabatku, tidak pula separuhnya.” [HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu'anhu]

#Beberapa_Pelajaran:

1. Hadits yang mulia ini menunjukkan jeleknya orang-orang Syi'ah yang suka mencela dan merendahkan bahkan mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam.

➡️ Sampai dikatakan para ulama; Apabila ditanyakan kepada orang-orang kafir Yahudi; siapakah generasi terbaik kalian, pasti mereka akan menjawab para sahabat Nabi Musa 'alaihissalaam.

➡️ Demikian pula orang-orang kafir Nasrani apabila ditanya; siapakah generasi terbaik kalian, pasti mereka menjawab para sahabat (Nabi) Isa 'alaihissalaam.

➡️ Namun apabila ditanyakan kepada orang-orang Syi'ah; siapakah generasi terjelek, maka mereka akan menjawab para sahabat Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam.

2. Pada hakikatnya yang mereka cela adalah Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam sendiri, karena beliaulah yang mendidik dan membina para sahabat, dan beliau mau bersahabat dengan mereka sampai wafat, bahkan beliau memuji mereka dan dengan tegas melarang kaum muslimin mencela mereka sebagaimana dalam hadits yang mulia ini.

➡️ Bahkan lebih dari itu, yang mereka cela sesungguhnya adalah Allah subhanahu wa ta'ala, karena Dia-lah yang memilih mereka untuk menemani dan membantu Nabi-Nya yang paling mulia, mereka pun telah menunjukkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya, serta pengorbanan yang luar biasa di jalan-Nya, hingga Allah meridhoi dan menjamin surga bagi mereka.

Sebagaimana firman-Nya,

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيم

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” [At-Taubah: 100]

3. Para sahabat adalah umat terbaik, maka sudah sepatutnya mereka dijadikan teladan dalam beragama.

Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam pun bersabda,

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi setelahnya, kenudian generasi setelahnya.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Sahabat yang Mulia Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,

من كان منكم متأسيا فليتأسى بأصحاب رسول الله فإنهم كانوا أبر هذه الأمة قلوبا وأعمقها علما وأقلها تكلفا وأقومها هديا وأحسنها حالا قوم اختارهم الله لصحبة نبيه وإقامة دينه فاعرفوا لهم فضلهم واتبعوهم في آثارهم فإنهم كانوا على الهدى المستقيم

“Barangsiapa diantara kalian yang mau meneladani maka hendaklah meneladani sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, karena mereka adalah umat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya, paling sedikit membebani diri, paling lurus petunjuknya dan paling bagus keadaannya. Mereka adalah satu kaum yang Allah pilih untuk menemani Nabi-Nya dan menegakkan agama-Nya, maka kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jejak-jejak mereka, karena sesungguhnya mereka berada di atas jalan yang lurus.” [Dzammut Ta’wil, hal. 32 no. 62]

Taawundakwah.com, [04.03.16 16:56]
[Forwarded from www.sofyanruray.info]
4. Diantara prinsip dasar Ahlus Sunnah wal Jama'ah yang sangat agung adalah pemuliaan terhadap para sahabat Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam, tanpa berlebih-lebihan.

✅ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

وَمِنْ أُصُولِ أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ: سَلَامَةُ قُلُوبِهِمْ وَأَلْسِنَتِهِمْ لِأَصْحَابِ مُحَمَّدٍ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Dan diantara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah selamatnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” [Al-Aqidah Al-Washitiyyah, hal. 115 no. 250, cet. Adhwaaus Salaf Riyadh, 1420 H]

✅ Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah dalam syarah-nya menerangkan,

“Selamatnya hati adalah tidak membenci, hasad, dengki dan marah terhadap sahabat. Adapun selamatnya lisan adalah tidak mengucapkan sesuatu yang tidak layak bagi sahabat. Maka Ahlus Sunnah wal Jama’ah bersih dari perbuatan tercela itu, hati mereka penuh dengan cinta, penghormatan dan pemuliaan terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” [Syarhul Aqidah Al-Washitiyyah, 2/247-248]

✅ Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata dalam kitabnya Risalah Ila Ahlil Qosim,

“Aku mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam, aku hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan keridhoan untuk mereka, memohon ampun untuk mereka, aku tidak berbicara tentang kejelekan-kejelekan mereka dan perselisihan yang terjadi diantara mereka dan aku yakini keutamaan mereka, sebagai pengamalan terhadap firman Allah ta’ala,

وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ

“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Ansar), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (Al-Hasyr: 10)." [Dinukil dari Syarhu Risalah Ila Ahlil Qosim, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah, hal. 129-130]

5. Apa Kewajiban Pemerintah terhadap Pencela Sahabat?

✅ Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

من لعن أحدا من أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم كمعاوية بن أبى سفيان وعمرو بن العاص ونحوهما ومن هو أفضل من هؤلاء كأبى موسى الأشعرى وأبى هريرة ونحوهما أو من هو أفضل من هؤلاء كطلحة والزبير وعثمان وعلى بن أبى طالب أو أبى بكر الصديق وعمر أو عائشة أم المؤمنين وغير هؤلاء من أصحاب النبى صلى الله عليه وسلم فإنه مستحق للعقوبة البليغة باتفاق أئمة الدين وتنازع العلماء هل يعاقب بالقتل أو ما دون القتل

"Barangsiapa melaknat salah seorang sahabat Nabi shallallahu'alaihi wa sallam seperti Mu'awiyah bin Abi Sufyan, 'Amr bin Al-'Ash dan selain keduanya, apalagi yang lebih afdhal dari mereka seperti Abu Musa Al-'Asy'ari, Abu Hurairah dan selain keduanya, atau yang lebih afdhal lagi dari mereka seperti Thalhah, Az-Zubair, 'Utsman dan Ali bin Abi Thalib, atau Abu Bakr Ash-Shiddiq dan Umar, atau Aisyah Ummul Mukminin dan para sahabat Nabi shallallahu'alaihi wa sallam selain mereka, maka ia pantas mendapatkan hukuman yang berat menurut kesepakatan para ulama agama Islam, hanya saja ulama berbeda pendapat apakah ia dihukum mati atau tidak sampai dihukum mati." [Majmu' Al-Fatawa, 35/58]

وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم

💻 Sumber: http://sofyanruray.info/sikap-seorang-muslim-terhadap-para-sahabat-nabi-muhammad-shallallahualalaihi-wa-sallam/


══════ ❁✿❁ ══════


Share:

Monday 1 February 2016

Urusan Macet Karena Maksiat

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

وَمِنْهَا تَعْسِيْرُ أُمُوْرِهِ عَلَيْهِ فَلاَ يَتَوَجَّهُ لِأَمْرٍ إِلاَّ يَجِدُهُ مُغْلَقًا دُوْنَهُ أَوْ مُتَعَسِّراً عَلَيْهِ, وَهَذَا كَمَا أَنَّ مَنِ اتَّقَى اللهَ جَعَلَ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا, فَمَنْ عَطَّلَ التَّقْوَى جَعَلَ اللهُ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ عُسْرًا, وَيَالله الْعَجَب كَيْفَ يَجِدُ الْعَبْدُ أَبْوَابَ الْخَيْرِ وَالْمَصَالِحِ مَسْدُوْدَةً عَنْهُ مُتَعَسِّرَةً عَلَيْهِ وَهُوَ لاَ يَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ أَتَى

“Diantara dampak seseorang bermaksiat adalah Allah menyulitkan urusannya, maka tidaklah ia menuju suatu urusan kecuali ia mendapati urusan tsb tertutup baginya, sulit utk ditempuhnya. Hal ini sebagaimana bahwasanya barang siapa yg bertakwa kpd Allah maka Allah akan memudahkan urusannya. Barang siapa yg membuang ketakwaannya maka Allah akan menyulitkan urusannya. Sungguh mengherankan bagaimana seorang hamba mendapati pintu-pintu kebaikan & kemaslahatan telah tertutup di hadapannya & sulit baginya, lantas ia tdk tahu kenapa bisa hal ini menimpanya?!” (Al-Jawaab al-Kaafi)

Maka jika anda merasa urusan2 anda sulit & terhambat bahkan sering gagal… maka koreksilah diri anda…jgn2 pakaian ketakwaan anda mulai anda tanggalkan sedikit demi sedikit.
Sebaliknya jika anda dimudahkan urusannya…bahkan datang rizki dari arah yg tdk di sangka2, maka smg itu semua adalah kabar baik akan pertanda ketakwaan anda. Allah berfirman :

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (٢)وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Barangsiapa bertakwa kpd Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yg tiada disangka-sangkanya. dan Barangsiapa yg bertawakkal kpd Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya” (QS At-Tholaaq :2-3)

🍃 Adapun jika anda terus bermaksiat akan tetapi rizki & urusan terus lancar maka waspadalah… Jgn2 itu adalah istidroj..

✒️ Ustadz Firanda Andirja, MA
〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

Share:

Sunday 31 January 2016

Macam - Macam Sujud

Ulama menjelaskan bahwa sujud itu bermacam-macam. Sebagiannya disyariatkan namun ternyata ada juga sujud yang tidak disyariatkan. Berikut ini beberapa macam sujud yang kami disertai dengan penjelasan singkat berkaitan dengannya. Semoga bermanfaat.

💧 1. SUJUD DI DALAM SHALAT

Sujud di dalam shalat merupakan salah satu dari gerakan shalat yang tidak akan sah suatu shalat kecuali dengan adanya sujud tersebut -kecuali shalat jenazah yang memang tidak disyariatkan padanya sujud-. Sujud tersebut merupakan salah satu rukun shalat, di mana bila ada salah satu dari rukun tersebut yang ditinggalkan, maka tidak akan sah shalat yang dilakukan.

💧 2. SUJUD SAHWI

Sujud sahwi termasuk salah satu sujud yang disyariatkan. Sujud tersebut dilakukan karena seseorang lupa di dalam shalatnya, sehingga terjadi kekurangan, kelebihan atau ada keragu-raguan. Sujud tersebut ada yang disyariatkan untuk dikerjakan sebelum salam, sebagaimana ada pula yang disyariatkan untuk dikerjakan setelah salam, sesuai dengan bentuk kesalahan yang ada.

Bacaan sujud sahwi sama dengan bacaan ketika sujud di dalam shalat. Adapun doa masyhur berikut:

سُبْحَانَ مَنْ لاَ يَنَامُ وَلاَ يَسْهُوْ.

“Segala puji bagi Allah yang tidak tidur lagi tidak lalai,” maka al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah mengatakan bahwa bacaan tersebut tidak ada dasarnya di dalam Syariat Islam. [https://islamqa.info/ar/39399]

💧 3. SUJUD TILAWAH

Sujud tilawah adalah sujud yang dilakukan oleh seseorang ketika membaca ayat-ayat sajdah. Sebagian ulama menyebutkan bahwa ayat-ayat tersebut ada pada 15 tempat di dalam al-Qur’an. Berikut perinciannya: surat al-A’raf: 206,  ar-Ra'du: 15, an-Nahl: 49, al-Israa’: 107, Maryam: 58, al-Haj: 18 & 77, al-Furqan: 60, an-Naml: 25, as-Sajdah: 15, Shaad: 24, Fusshilat: 37, an-Najm: 63, al-Insyiqaq: 21, al-‘Alaq: 19.

Sujud tilawah hukumnya sunnah. Ia disyariatkan untuk dilakukan  di dalam atau di luar shalat. Ada beberapa sifat doa sujud tilawah, berikut ini salah satunya:

سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ.

"Telah sujud wajahku kepada Dzat yang telah menciptakannya dan membuka pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan kekuatan-Nya." (Hadis Sahih riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi)

💧 4. SUJUD SYUKUR

Sujud syukur disyariatkan untuk dilakukan ketika mendapatkan kenikmatan yang bersifat tiba-tiba atau ketika dihindarkan dari malapetaka.

Sujud syukur tidak diawali dengan takbir dan tidak pula diakhiri dengan salam, sebab tidak ada riwayat sahih dari Nabi yang menjelaskan hal tersebut. Tidak ada bacaan tertentu untuk sujud syukur. Ketika mengerjakan sujud ini, seorang muslim boleh memuji Allah, bersyukur kepada-Nya, berdoa atau beristighfar.

Dan yang pendapat yang kuat berkaitan dengan sujud ini, bahwa seorang muslim yang melakukannya tidak disyaratkan dalam keadaan suci, menutup aurat –sebagaimana dalam shalat-, sebagaimana tidak disyariatkan pula menghadap kiblat. Allahu a’lam.

💧 5. SUJUD SEKALI SETELAH SHALAT

Sebagian kaum muslimin ada yang mengerjakan sujud sekali setelah shalat. Sujud ini umumnya dikerjakan ketika ia akan bangkit untuk pergi. Sebagian mereka menyampaikan alasan bahwa sujud tersebut sebagai rasa syukur kepada Allah atas kenikmatan yang terus ada. Ketahuilah, ulama menjelaskan bahwa sujud semacam ini tidak ada tutunannnya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana pula tidak ada contohnya dari para sahabat mulia radhiyaAllahu anhum.

Abu Nashr al-Arghiyani rahimahullah mengatakan: “Sujud syukur sunnah dikerjakan ketika tiba-tiba mendapatkan nikmat atau terhindar dari marabahaya. Namun tidak dianjurkan untuk dikerjakan dengan alasan nikmat yang terus ada.”

Abu Syamah al-Maqdisi rahimahullah menuliskan: “Pengarang kitab at-Tatimmah menuturkan: “Sebagian orang mengerjakan sujud setelah selesai shalat seraya berdoa padanya.” Beliau melanjutkan: ”Sujud tunggal seperti ini tidak ada dasarnya, tidak ada nukilan riwayat dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan dari para sahabat beliau. Yang utama setelah shalat adalah berdoa (b

Majelis Ilmu ICC DAMMAM KSA, [27.01.16 03:37]
erzikir), dengan dasar beberapa riwayat yang ada. Allahu a’lam."

Beliau juga mengatakan: ”al-Faqih Abu Muhammad menyatakan: ‘Syariat tidak menerangkan cara mendekatkan diri kepada Allah dengan sujud tunggal yang tidak ada sebabnya. Mendekatkan diri dengan ibadah itu memiliki sebab, syarat, waktu dan rukun yang tidak akan sah ibadah tersebut kecuali dengan adanya itu semua. Sebagaimana tidak ada syariat mendekatkan diri kepada Allah ta’ala dengan wuquf di Arofah dan Muzdalifah, melempar Jumrah, Sai antara Safa dan Marwah tanpa adanya nusuk (haji) yang dikerjakan pada waktunya dengan sebab-sebab dan syarat-syaratnya, demikian pula tidak ada syariat mendekatkan diri kepada Allah dengan sujud tunggal –sekiranya sujud itu merupakan ibadah- melainkan dengan sebab yang benar.” [al-Baa-its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits, hal. 167]

Dari penjelasan singkat di atas kita ketahui bahwa sujud tunggal setelah shalat tidak berdasarkan kepada dalil, padahal ibadah itu harus berdasarkan kepada dalil, baik dari al-Qur’an atau as-Sunnah (hadis).

Semoga Allah senantiasa membimbing kita untuk beribadah sesuai dengan tuntunan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Repost via:

✅ Bagian Indonesia
🏠 ICC DAMMAM KSA
📅 [ 16/04/1437 H ]
============================
Berlangganan Tulisan:
🔹 Via WhatsApp +966556288679
🔹 Via Telegram @iccdammamksa
Share: