Showing posts with label Tauhid. Show all posts
Showing posts with label Tauhid. Show all posts

Friday 6 May 2016

Memohon Pembenahan ILLAHI Dalam Segala Urusan

بسم الله الرّحمن الرّحيم


Hal yang paling bermanfaat dalam meniti peristiwa di masa mendatang adalah mengamalkan do’a yang diamalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Ya Allah, Perbaikilah kehidupan religiku, yang ia adalah benteng bagi segala urusanku. Perbaikai urusan duniawiku yang padanya kehidupanku. Perbaikilah akhiratku, yang kepadanya tempatku kembali. Jadikanlah hidup ini sebagai lahan uapayaku menambah segala kebajikan, dan jadikanlah mati sebagai titik henti bagiku dari segala keburukan” [Muslim, Shahih Muslim, Kitab Adz-Dzikr Wad-Du’a wat-Taubah wal Istighfar, bab At-Ta’awwudz min Syarri Ma’ Amila wa Min Syarri Malam Ya’mal]

Juga do’a beliau.

“Artinya : Ya Allah, hanya RahmatMu jualah yang kuharap. Karenanya titipkan diriku pada diriku walaupun sekejap mata, perbaikilah keadaanku seluruhnya Tiada Tuhan Yang Haq disembah kecuali Engkau” [Hadits Riwayat Abu Dawud dengan sanad Shahih].

Jika bibir seorang hamba mengucapkan do’a ini –yang mengandung kebaikan masa depan bagi nilai religinya maupun urusan duniawinya- dengan hati yang memusat dan niat yang benar, seiring berupaya merealisasikan hal itu dengan berbuat, niscaya Allah akan mewujudkan apa yang ia panjatkan dalam do’anya dan yang ia harapkan serta yang ia upayakan itu menjadi realita, dan kegelisahannya pun akan berubah menjadi kegembiraan dan kesukacitaan
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ
=================================
🌎Sumber : [Disalin dari kitab Al-Wasailu Al-Mufidah Lil Hayatis Sa'idah, edisi Indonesia Dua Puluh Tiga Kiat Hidup Bahagia, Penulis Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As-Sa'di, Penerjemah Rahmat Al-Arifin Muhammad bin Ma'ruf, Diterbitkan Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Jakarta]

Share:

Saturday 26 March 2016

Konsepsi Ketuhanan dalam Islam

Oleh : Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A
(Ketua PP MUhammadiyah)

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

DIA lah HU ALLAH yang esa yang patut disembah, tidak berputra dan tidak diputrakan

Masalah ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, semua orang pasti bertuhan dan melakukan penyembahan terhadap tuhannya itu. Persoalannya adalah tuhan yang disembahnya itu apakah Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta, atau tuhan yang justru diciptakan oleh manusia?

Dalam perspektif Islam, pengakuan adanya Tuhan sudah ada pada diri manusia semenjak dia belum dilahirkan.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
(Qs. Al-A’raf 172).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa sejak dalam alam rahim, sebelum ruh ditiupkan ke dalam tubuh, manusia sudah mengakui Allah sebagai Tuhannya. Oleh Ibnu Katsir meng hubungkan ayat ini dengan Surat Ar-Rum ayat 30 yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dengan fitrah mengakui keesaan  Allah SWT.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar-Rum 30).

Fitrah bertuhan yang dibawa manusia sejak sebelum lahir itu barulah merupakan potensi dasar yang harus dipe lihara dan dikembangkan. Apabila fitrah tersebut tertutup oleh beberapa faktor luar, manusia akan lari dan menentang fitrahnya sendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan betapa besarnya peran orang tua dalam memelihara dan mengarahkan fitrah tersebut supaya tetap dalam keislamannya.

“Tidak seorang pun yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan berperan) menjadikan anak itu menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi…” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jadi, secara esensi, tak ada seorang pun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah mereka memper tuhankan sesuatu yang bukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah. Dalam perspektif inilah kita menempatkan bahwa seorang ateis pun bertuhan, karena mereka mempertuhankan faham atau ideologi anti tuhan (ateisme).

Tanpa bimbingan wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui para rasul-Nya, fitrah bertuhan itu akan disalurkan oleh manusia sesuai dengan pengalaman dan perkembangan akal pikirannya. Tatkala secara evolusi, melalui pengalaman, manusia sampai kepada faham satu tuhan, tetapi karena tidak ada bimbingan wahyu, tuhan yang mereka yakini itu bermacam-macam jenis dan namanya. Demikian pula ritual penyembahan tuhan itu pun beragam.

Bagaimana Islam memandang fenomena satu tuhan tetapi banyak jenis dan nama serta beragam cara penyembahannya itu ? Apakah keimanan mereka seperti itu dapat diterima dan dibalasi oleh Allah SWT di Akhirat nanti dengan surga? Tentu saja Islam tidak mengakuinya, karena yang menjadi pusat dan landasan segala sesuatu dalam Islam adalah tauhidullah (la ilaha illallah). Islam tidak hanya mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi juga menjelaskan nama-nama, sifat-sifat dan bagaimana cara mengesakan-Nya. Dengan sangat tegas Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs. Thaha 14).

“Hanya milik Allah al-asma’-al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma’-al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al-A’raf 180).

Tauhid merupakan ajaran sentral seluruh Nabi-nabi mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Semua rasul yang diutus oleh Allah SWT selalu mengajak umatnya untuk hanya menyembah Allah SWT semata. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Qs. An-Nahl 36).

Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak semua manusia mau menerima seruan para rasul, sebagian tetap dengan kesesatan mereka. Sementara di antara yang beriman pun, dalam perkembangannya ada yang menyimpang dari ajaran Tauhid, seperti yang dilakukan oleh  orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masing-masing meyakini ‘Uzair dan Isa Al-Masih sebagai putra Allah. Al-Qur`an mengoreksi keyakinan yang sesat tersebut:

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (Qs. At-Taubah 30).

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”
(Qs. Al-Ma`idah 73).

Jelaslah bahwa konsep ketuhanan yang benar hanyalah yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan konsep ketuhanan yang dibuat oleh manusia. Pluralitas ketuhanan dalam sejarah tidak hanya sekadar perbedaan nama dan cara bertuhan, tetapi juga substansi ketuhanan. Jika hanya sekadar bahasa, misalnya dalam bahasa Indonesia kata rabb dan ilah kita terjemahkan dengan Tuhan, atau dalam bahasa Inggris disebut God, tentu tidak jadi masalah, karena yang dimaksud dengan tuhan dan God itu adalah Allah SWT. Tetapi jika perbedaannya sampai kepada sifat dan af’al Tuhan, apalagi satu sama lain saling bertentangan, tentu perbedaan seperti itu tidak dapat dibenarkan.

Maka logika “yang penting bertuhan, soal nama dan cara bertuhan terserah kepada keyakinan dan kultur masing-masing,” tentu saja bertentangan dengan pandangan Islam.

Teori Kebenaran Agama

Islam adalah satu-satunya agama yang diturun  kan dan diridhai Allah SWT untuk umat manusia. Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Doktrin ini ditegaskan Allah dalam dua ayat berikut ini:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”
(Qs. Ali Imran 19).

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali Imran 85).

Seluruh Nabi dan Rasul yang diutus oleh  Allah SWT membawa agama yang sama yaitu Islam. Dengan demikian seluruh nabi-nabi dan para pengikutnya adalah Muslimun. Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani berebut mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk agama mereka, Allah membantahnya dan mengatakan bahwa Ibrahim itu Muslim.

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang Hanif dan Muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (Qs. Ali Imran 67).

Nabi Ibrahim dan juga Nabi Ya’qub telah memesankan kepada anak-anaknya untuk menjadi orang-orang Islam.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (Qs. Al-Baqarah 132).

Perbedaan ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari masa ke masa hanyalah dari aspek syariat, bukan dalam aspek akidah dan informasi tentang alam semesta. Allah berfirman:

“…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...” (Qs. Al-Ma`idah 48).

Sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad SAW membawa syariat (baca: agama) yang telah disempurnakan dan dinyatakan oleh Allah sebagai agama yang diridhai-Nya untuk seluruh umat manusia sampai Hari Akhir nanti. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Ma`idah 3).

Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT, maka otomatis agama-agama lain yang dianut dan diyakini oleh sebagian umat manusia ditolak kebenarannya, bukan keberadaannya. Sekali lagi, yang ditolak adalah kebenarannya, bukan keberadaannya! Keberadaannya tidak ditolak karena Allah tidak mau memaksa manusia untuk memeluk agama Allah. Islam mengajarkan kebebasan memilih agama. Hanya saja jika manusia memilih agama selain Islam, di Akhirat nanti mereka termasuk orang-orang yang merugi.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah 256).

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Qs. Yunus 99).

Jika kebenaran agama-agama lain selain  Islam ditolak, bagaimana kita memahami firman Allah berikut ini?

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Qs. Al-Baqarah 62).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini turun dilatarbelakangi oleh pertanyaan Salman al-Farisi kepada Rasulullah SAW tentang teman-temannya dalam agama yang dipeluknya sebelum Islam. Teman-teman Salman itu mengerjakan ibadah shalat dan puasa menurut syariat yang berlaku sebelum Nabi diutus dan juga percaya dan memberikan kesaksian bahwa Nabi Muhammad akan diutus. Setelah Salman selesai memuji teman-temannya, Rasulullah menyatakan: “Hai Salman, mereka termasuk penghuni neraka.” Jawaban Rasulullah SAW itu terasa berat bagi Salman. Dalam pikiran Salman tentu timbul pertanyaan, kenapa harus masuk neraka padahal mereka telah beriman dan menjalankan syariat yang berlaku waktu itu. Andaikata mereka ber temu dengan Nabi seperti halnya Salman, tentu mereka akan ber iman juga. Kega lauan hati Salman itu dijawab oleh Allah dengan menu run kan ayat ini.

Setiap pemeluk agama Allah yang hidup pada zaman Rasul-rasul terdahulu atau sebelum Nabi Muham mad diutus, jika mereka benar-benar beriman dengan Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal shaleh sesuai syariat yang berlaku waktu itu, tentu mereka akan men dapatkan ganjarannya, sama seperti ganjaran yang didapat oleh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW setelah beliau diutus. Andaikata orang-orang Yahudi dan Nasrani benar-benar mengimani dan mengikuti ajaran Taurat dan Injil sebagai kitab suci mereka, tentu mereka akan beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang telah diberitakan kedatangannya dalam dua kitab suci tersebut. Karena Nabi Muhammad SAW diutus sebagai penutup dari rantaian Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebelum nya yang kesemuanya membawa misi yang sama yaitu beribadah kepada Allah dan menjauhi Thaghut.

Itulah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Salam dan Ubayya bin Ka’ab dari komunitas Yahudi Madinah, Tamim ad-Dari dan Adi bin Hatim dari komunitas Nasrani Madinah serta Raja Najasyi dari Habsyah. Itu jugalah yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi yang sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk Nasrani dan pernah berguru kepada pendeta Buhaira.

Andaikata orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengaku beriman dengan Allah dan Hari Akhir tidak mau beriman dengan Nabi Muham mad SAW, maka mereka tidak termasuk yang mendapatkan janji Allah dalam ayat di atas (untuk mendapatkan pahala dari iman dan amal shalih nya), karena klaim keimanan mereka tidak benar dengan menolak kerasu lan Nabi Muham mad SAW. Dalam konteks inilah Nabi bersabda:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda: “Demi Zat Yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang pun Yahudi dan Nasrani dari umat ini yang mendengar aku kemudian meninggal dunia dan dia belum beriman dengan kerasulanku kecuali dia termasuk penghuni neraka” (H.R. Muslim).

Di samping itu, memahami Surat Al-Baqarah ayat 62 haruslah dalam kesatuan ajaran Al-Qur`an. Bukankah ayat-ayat Al-Qur`an satu sama lain saling menafsirkan. Hubungkan juga penafsiran ayat ini dengan ayat-ayat tentang iman dengan segala kriteria dan konsekuensinya. Apakah keimanan orang-orang Yahudi dan Nasrani sekarang ini sudah sesuai dengan kriteria keimanan yang dijelaskan dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an? Siapa saja yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW, termasuk Ahlul Kitab, masuk dalam kategori penghuni neraka sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6:

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”

Jadi, Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW tidaklah yang termasuk dalam pengertian Surat Al-Baqarah 62, sehingga di akhirat kelak mereka tidak termasuk golongan yang selamat dari api neraka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “kebenaran agama secara total” hanya ada pada Islam, sebagai satu-satunya agama Allah. Yang dimaksud dengan “secara total” adalah apabila kita menimbang dan menilai satu agama secara totalitas, bukan secara parsial. Hal ini berarti  Islam tidak menafikan “kebenaran parsial” yang ter dapat dalam agama-agama lain, terutama dari aspek muamalah dalam pengertian yang lebih luas, yaitu hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ajaran cinta kasih, tolong menolong, solidaritas, per satuan, keadilan, kejujuran, kebersihan, disiplin, menuntut ilmu, bekerja dengan rajin dan giat, memelihara lingkungan dan lain sebagainya akan kita temukan tidak hanya dalam ajaran Islam semata, tetapi juga pada ajaran agama-agama lain.

Dalam aspek muamalah ini Islam bersikap fleksibel, semua yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dalam perspektif seperti itu kita menilai kebenaran yang terdapat dalam berbagai macam agama, bukan dalam pengertian totalitas sebagai agama.

Ada pandangan yang mengibaratkan agama sebagai “kendaraan menuju satu tujuan,” Pandangan ini menyatakan bahwa yang penting adalah tujuan yang sama, sedangkan kendaraan yang dinaiki dan jalan yang ditempuh boleh berbeda-beda, toh pada akhirnya semua akan sampai di tempat yang sama.

Pandangan ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Islam. Dalam perspektif  Islam, perbedaan kendaraan dan jalan yang ditempuh itu memang dibolehkan, asal semua kendaraan yang dinaiki itu laik jalan, sehingga dapat mengantarkan ke tujuan dengan selamat dan jalan yang ditempuh pun menuju ke arah yang sama.

Apabila ajaran Islam dipelajari dengan baik dan rinci, kita akan mengetahui bagian mana yang tidak boleh berbeda dan bagian mana pula yang memberikan keleluasaan untuk berbeda. Bagian-bagian yang boleh berbeda itu sajalah yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang beragam untuk mencapai tujuan. Misalnya, model bangu nan masjid boleh beragam, asal semuanya meng hadap kiblat. Warna pakaian boleh berbeda, asal semua menutup aurat. Model masjid dan pakaian dalam hal ini adalah dua contoh keraga man yang dibenarkan, yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang berbeda itu, tetapi shalat menghadap kiblat dan menutup aurat adalah dua hal yang tidak dapat diibaratkan kendaraan dan jalan yang boleh berbeda, karena perbedaannya bersifat substantif.

Dua contoh ini cukup untuk sekadar ilustrasi bahwa dalam Islam ada ajaran yang statis, tsabit, tidak dapat dirubah dan berbeda, dan ada juga ajaran yang dinamis yang dapat menerima perobahan dan perbedaan.

Tidak semuanya dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan untuk mencapai satu tujuan, apalagi menyamakan persoalan ketuhanan, kerasulan dan kitab suci sebagai hanya sekadar kendaraan dan jalan. Analogi seperti itu adalah analogi yang sangat lemah, baik dari segi logika maupun teologi.
—------------------—
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ  ۙ 
=================================
Sumber :Majalah Bulanan TABLIGH {www.alsofwah.com}
Share:

Thursday 7 August 2014

Allah Maha Esa

Allah Ta’ala itu Maha Esa. Tiada Tuhan selain Dia sendiri. Dia esa atau tunggal, baik dalam dzat, sifat, dan af’alnya. Esa dalam dzat artinya dzat-Nya tidak tersusun dari beberapa bagian yang terpotong-potong. Dan Allah SWT itu tidak memiliki sekutu dalam memerintah serta menguasai kerajaan alam raya semesta ini.

Hal ini ditegakan oleh firman-Nya, yang artinya: “Maha suci Tuhan. Dia adalah Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS. Az-Zumar: 4).

Esa dalam sifat-sifat-Nya, maksudnya adalah bahwa tidak ada sesuatu atau seorang pun yang sifatnya menyerupai sifat-sifat-Nya.

Sedangkan esa af’al-Nya atau perbuatan-Nya maksudnya ialah bahwa tidak seorang pun yang selain Dia yang mempunyai perbuatan sebagaimana yang dilakukan oleh-Nya. Maka Allah SWT itu adalah Maha Pencipta segala sesuatu, Pembuat untuk pertama kalinya segala yang maujud. Jadi, Allah SWT adalah Mahas Esa dan Menyendiri dalam hal menciptakan, membuat, mewujudkan dan membentuk.

Bahwa Allah SWT itu Maha Esa, berdiri sendiri, tidak beranak maupun diperanakkan, ditandaskan dalam firman-Nya: “Katakanlah: ‘Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia.” (QS. Al-Ikhlas: 1-4)

Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 163, “Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” Juga dalam Al-Anbiyaa’ ayat 22, “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arasy dari apa yang mereka sifatkan.”

Secara logika, wujudnya alam semesta beserta isinya ini menjadi bukti/dalil bahwa Allah itu Maha Esa. Sebab, seandainya ada sekutu bagi Allah, artinya Allah lebih dari satu, maka alam semesta mustahil wujud.

Seandainya ada dua Tuhan, dan keduanya bersepakat untuk mewujudkan alam semesta, kehendak salah satu dari kedua-Nya yang terlaksana. Tidak mungkin kehendak keduanya, karena berarti akan wujud dua alam semesta. Dengan begitu, kehendak salah satu dari keduanya tidak terpenuhi. Bila kehendaknya tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut Tuhan. Bukan Tuhan bila kehendaknya tidak terpenuhi. Karena kita membicarakan dua dzat yang diasumsikan sama, dan tidak mungkin kehendak salah satu saja yang terlaksana, maka berarti keduanya kehendaknya tidak akan terpenuhi.

Apabila mereka membagi tugas dengan mencipta setengah bagian masiing-masing, maka keduanya tak berkuasa atas ciptaan yang lain. Yang menciptalah yang berkuasa atas ciptaannya. Dan dengan begitu keduanya tidak bisa disebut Tuhan, karena bukan Tuhan apabila kekuasaannya terbatas serta ada hal yang di luar kuasa-Nya.

Apabila keduanya berbeda pendapat dalam penciptaan alam semesta, tentu kehendak salah satu dari keduanya yang terpenuhi. Yang satu tentu kehendaknya tidak akan terpenuhi, sebab kehendak mereka berbeda dan harus ada yang terpenuhi. Yang tidak terpenuhi kehendaknya tidak bisa disebut Tuhan. Karena kita membicarakan dua dzat yang diasumsikan sama, dan tidak mungkin kehendak salah satu saja yang terlaksana, maka berarti keduanya kehendaknya tidak akan terpenuhi.

Maka seandainya Allah lebih dari satu, bersepakat atau tidak, alam semesta tidak akan wujud. Sedangkan alam semesta beserta isinya dapat kita saksikan wujudnya dengan mata kepala sendiri. Maka mustahil Allah itu berbilang (lebih dari satu). Maha Suci Allah dari berbilang dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Esa. (sumber:  “Risalah Tauhid”/M. Dawud Arif Khan dan “Aqidah Islam”/Sayyid Sabiq)
Share: