Saturday 7 May 2016

Antara Teori Relativitas dan Mukjizat Isra’ Mi’raj

Dalam teori relativitasnya yang lebih dikenal dengan E=mc2 (1905 M), Albert Einstein meng-include-kan antara ruang dan waktu. Ketika bicara soal waktu, tidak mungkin terlepas dari ruang, atau sebaliknya. Jika segala sesuatu bergerak, maka harus ada waktu yang menyertainya. Semakin cepat sesuatu bergerak, maka waktu di sekelilingnya akan menyusut jika dibanding dengan waktu sebuah benda yang geraknya lebih lambat.

Berdasarkan teori Einstein ini, jika dikhayalkan seorang astronot bergerak mendekati kecepatan cahaya selama sehari maka itu sama saja dengan 50.000 tahun tahun waktu bumi. Jika kembali ke bumi, maka tim astronot tersebut akan menemukan generasi baru sama sekali.

Kesimpulannya, semakin cepat bergerak maka waktu akan menciut. Itulah kurang lebih keyakinan kaum materealisme dimana kecepatan dan kemampuan waktu terkait erat.

Jika ada makhluk lain bukan dari bangsa manusia yang lebih kuat dari manusia, seperti jin atau malaikat, maka ia bergerak dengan hukum yang berbeda. Ia akan mampu menempuh jarak dan melintasi segala penghalang yang di luar bayangan manusia. Berdasarkan teori relatifitas, jika ada benda kecil yang bergerak melebihi kecepatan cahaya, maka jarak akan pendek dan menghapus waktu di depannya. Hingga kini, kecepatan cahaya di ruang kosong masih yang tercepat. Namun dunia ilmiah tidak mengingkari adanya kecepatan lain yang lebih cepat di ruang kosong. Meski belum ditemukan.

Apa lantas kaitan teori relativitas Einstein dengan mukjizat RasulullahShalallahu Alaihi wa Sallam, “Isra’ dan Mi’raj”?. Tulisan ini bukan menambah pembuktian kebenaran mukjizat hissi (indrawi) ini. Namun untuk melakukan pendekatan pemahaman masalah ini terhadap mereka yang mengingkari kejadian ini, baik dari kalangan umat Islam yang ragu atau orang kafir. Separuh bagian dari mukjizat ini, Allah sengaja menantang manusia yang ingkar. Separuhnya adalah perkara ghaib yang harus diyakini kebenarannya secara mutlak.

Mukjizat ini tidak mungkin terjadi terhadap manusia biasa dengan standar ilmiah apapun dengan segala teori dan asumsinya. Sebab jika terjadi, ia bukan mukjizat lagi dan manusia bisa menciptakan alat (mesin waktu misalnya) untuk melintasi waktu. Mukjizat indrawi tidak bisa diandalkan untuk meyakinkan risalah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, sebab mukjizat itu sudah berlalu. Mukjizat yang kekal adalah Al Quran.

Isra’ dan Mi’raj merupakan mukjizat yang mengandung unsur kecepatan yang di luar biasa yang mengantarkan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dalam dua perjalanan. Pertama, rihlah (perjalanan) antar jarak di bumi dari Masjidil Haram di Mekah ke masjidil Al Aqsha di Palestina yang disebut isra’. Kemudian dilanjutkan “perjalanan langit” dari bumi menembus alam raya ke lapisan langit yang tidak pernah di ketahui oleh manusia kecuali melalui informasi dari Al Quran.

“Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al Isra’: 1)

“Maha Suci Allah” kalimat ini menegaskan tentang mukjizat Isra’ dan Mi‘raj. Namun apakah perjalanan Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, ini utuh dalam arti ruh dan jasadnya atau hanya ruhnya saja? Ada sebagian orang mengatakan bahwa perjalanan Isra’, terutama tentu Mi’raj terjadi terhadap Rasulullah, ketika dalam keadaan tidur atau mimpi. Artinya, hanya ruh saja tanpa jasad. Namun, secara tidak langsung, pendapat ini tidak mengukuhkan Isra’ Mi’raj sebagai mukjizat.

Pendapat yang benar, wallahu a’lam bishawab, perjalanan itu terjadi pada ruh dan jasad secara utuh. Ayat di atas tegas menyatakan “biabdihi”, (dengan hamba-Nya), secara lahir maknanya utuh ruh dan jasad. Di awal ayat, ditegaskan “subhanalladzi” , Maha Suci (Allah) Yang artinya Allah Maha Suci dari tandingan, persamaan, pertolongan, suci dari kelemahan Yang mampu menciptakan kejadian maha agung. Dari awal ayat Allah sudah “meminta” kepada pembaca untuk menerima informasi kejadian agung.

Melihat kondisi kaum muslimin saat itu dan dakwahnya, mukjizat Rasulullah, ini bertujuan ingin membersihkan hati orang yang beriman kepada beliau, secara utuh dan total.

Kelompok materealis selalu mengukur segala sesuatu dengan dimensi, ruang, waktu dan materi. Walhasil mereka mengingkari fenomena Isra’ Mi’raj secara mutlak.

Dalam hadits disebutkan bahwa perjalanan pergi dan pulang dari Mekah ke Al Quds, Rasulullah saw naik “buraq“. Sebagian mengatakan buraq berwarna putih yang berkilau. Kemungkinan ini adalah kendaraan dengan kecepatan cahaya wallahu a’lam. Karena ini sebuah mukjizat, maka jasad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam dijaga dari pengaruh kecepatan cahaya.

Alam raya maha luas yang disaksikan oleh manusia dengan alat-alat yang ada hanya langit dunia dan bagian kecil dari langit-langit Allah yang tujuh. Semua itu tidak ada bandingnya sama sekali dengan Allah Yang Maha Esa, Raja dan Pemilik dan Pengatur alam raya ini.

Meski teori perubahan materi menjadi energi dan kembali lagi ke materi hanya sebatas terori dan tidak bisa diterapkan, tapi bisakah ini didekatkan dengan fenomena Isra’ dan Mi’raj? Mungkinkah jasad Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam, berubah menjadi energi yang lebih tinggi dari cahaya sehingga bisa menembus alam raya dalam waktu singkat? Perjalanan Rasulullah dalam isra dan mikraj hanya semalam. Perjalanan itu dimulai setelah Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam shalat isya’ bersama sahabat dan kembali shalat shubuh bersama-sama mereka.

Fenomena mukjizat itu ditegaskan oleh Allah dalam Al Quran

“Demi bintang ketika terbenam. Kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru. Dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). Yang diajarkan kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat. Yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu) Menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang Dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian Dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi. Maka jadilah Dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu Dia menyampaikan kepada hambaNya (Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya. Maka Apakah kaum (musyrik Mekah) hendak membantahnya tentang apa yang telah dilihatnya? Dan Sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain. (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (An Najm: 1-18)

Dalam sejarah, perjalanan ke langit atau perpindahan benda sangat cepat bukan hanya di jaman Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam. Sebut misalnya, Nabi Sulaiman memindahkan istana Balqis dalam sekejap dari Yaman ke Syam, Nabi Idris yang diangkat ke langit, Nabi Ilyas, Nabi Isa bin Maryam. Dalam sebuah riwayat hadits shahih, Nabi Isa yang diangkat Allah ke langit akan kembali ke bumi di akhir jaman. Apakah dalam fenomena ini berlaku teori relativitas Albert Eistein?

Wallahu a’lam bish shawab.

###
Sumber: hasanalbanna.com
Share: