Tuesday 29 March 2016

7 Pintu Neraka dan Siapa Para Penghuninya

Suatu ketika Jibril datang kepada Nabi Muhammad SAW dan menceritakan satu per satu pintu gerbang neraka. Ketika Rasulullah mendengar tentang pintu gerbang neraka ke-7, beliau menangis, dan bahkan sampai pingsan.

Ketika itu Jibril datang dengan raut wajah yang tidak biasa, maka Nabi SAW bertanya: "Mengapa aku melihat kau berubah muka?" Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yang mengetahui neraka Jahannam itu benar, siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu terbesar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya".

Lalu Rasulullah SAW bersabda: "Ya Jibril, jelaskan padaku sifat Jahannam." Jawabnya: "Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan selama 1000 tahun, sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun hingga putih, kemudian seribu tahun hingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah, andaikan terbuka sebesar lubang jarum niscaya akan dapat membakar semua penduduk karena panasnya.

Demi Allah, andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi niscaya akan mati penduduk bumi karena panas dan basinya. Demi Allah, andaikan satu pergelangan dari rantai yang disebut dalam Al-Quran itu diletakan di atas bukit, niscaya akan cair sampai ke bawah bumi yang ke tujuh.

Demi Allah, andaikan seorang di ujung barat tersiksa, niscaya akan terbakar orang-orang yang di ujung timur karena sangat panasnya. Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya besi, dan minumannya dari air panas campur nanas, dan pakaiannya potongan-potongan api. Api neraka itu ada 7 pintu, jarak antar pintu sejauh 70 tahun, dan tiap pintu panasnya 70 kali dari pintu yang lain."

Kemudian Rasulullah SAW meminta Jibril untuk menjelaskan satu per satu pintu gerbang neraka tersebut. Jibril menjawabnya:

"Pintu yang pertama untuk orang-orang munafik, dan orang-orang yang kafir, namanya Al-Hawiyah. Pintu ke 2 diperuntukkan untuk orang-orang musyrikin bernama Jahim. Pintu ke 3 tempat bagi orang shobi'in (penyembah api) bernama Saqar.

Pintu ke 4 tempat iblis dan pengikutnya dari kaum majusi bernama Ladha. Pintu ke 5 bagi orang Yahudi bernama Huthomah. Pintu ke 6 tempat bagi kaum kafir bernama Sa'ir."

Sejenak Jibril diam, kemudian Rasulullah SAW bertanya: "Mengapa tidak kau terangkan penduduk pintu ke 7?"

Jibril sempat ragu untuk menjawabnya, tapi kemudian memberitahui Nabi Muhammad SAW siapa penduduk pintu ke 7 itu. Jibril menjawab: "Di dalamnya (Neraka Wail) orang-orang yang berdosa besar dari umatmu yang sampai mati belum sempat bertaubat."

Rasulullah SAW jatuh pingsan ketika mengetahui siapa penduduk pintu gerbang neraka ke-7, sehingga Jibril meletakan kepala Rasulullah SAW di pangkuannya. Setelah sadar, Nabi Muhammad SAW menangis, Jibril pun ikut menangis.

Kemudian Rasulullah SAW masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang. Beliau juga tidak berbicara dengan siapapun selama beberapa hari, dan ketika sholat beliau menangis memilukan. Hati beliau sangat risau mengetahui bahwa ada umatnya yang akan masuk neraka.

Share:

Sunday 27 March 2016

4 Cara ALLAH Memberi Rezeki

1. REZEKI TINGKAT PERTAMA (YANG DIJAMIN OLEH ALLAH)
"Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya."(QS. 11: 6)
Artinya Allah akan memberikan kesehatan, makan, minum untuk seluruh makhluk hidup di dunia ini. Ini adalah rezeki dasar yg terendah.

2. REZEKI TINGKAT KEDUA
"Tidaklah manusia mendapat apa-apa kecuali apa yang telah dikerjakannya" (QS. 53: 39)
Allah akan memberikan rezeki sesuai dengan apa yang dikerjakannya. Jika ia bekerja dua jam, dapatlah hasil yang dua jam. Jika kerja lebih lama, lebih rajin, lebih berilmu, lebih sungguh-sungguh, ia akan mendapat lebih banyak. Tidak pandang dia itu muslim atau kafir.

3. REZEKI TINGKAT KETIGA
“... Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih." (QS. 14: 7)
Inilah rezeki yang disayang Allah. Orang-orang yang pandai bersyukur akan dapat merasakan kasih sayang Allah & mendapat rezeki yang lebih banyak. Itulah Janji Allah! Orang yang pandai bersyukurlah yang dapat hidup bahagia, sejahtera & tentram. Usahanya akan sangat sukses, karena Allah tambahkan selalu.

4. REZEKI KE EMPAT (UNTUK ORANG BERIMAN DAN BERTAQWA)
".... Barangsiapa yg bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki) Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.”
(QS.Ath-Thalaq/65:2-3)
Selamat menjemput rezeki, semoga berkah..
Share:

Saturday 26 March 2016

Jawaban Fiqih

Oleh Ustadz Salim A Fillah

Para 'ulama sejati bukan hanya bertugas menjaga khazanah ilmu. Mereka harus memberi penyelesaian atas persoalan masyarakat, yang kadang justru karena sederhananya; memerlukan kedalaman pemahaman untuk menjawabnya.

“Suatu kali”, demikian dihikayatkan Imam Tajuddin As Subki dalam Thabaqatusy Syafi’iyyah Al Kubra, “Seorang perempuan mendatangi majlis ilmu yang dihadiri oleh para Imam ahli hadits. Di antara mereka terdapatlah Imam Yahya ibn Ma'in, Imam Abu Khaitsamah, Khalaf ibn Salim, dan banyak lagi yang lain. Mereka saling menyebutkan hadits, mentartibkan sanad-sanadnya, dan membilang keragaman matannya.”

Ketika mereka sedang saling berbagi hadits, tetiba perempuan itu menyela. “Wahai para berilmu”, ujarnya, “Aku adalah seorang wanita yang bekerja sebagai tukang memandikan jenazah. Bagaimanakah hukumnya untukku jika harus memandikan jenazah ketika aku sedang dalam keadaan haidh?”

Semua ‘ulama besar yang hadir waktu itu tidak ada yang mampu menjawab. Mereka jadi saling berpandangan satu sama lain. Dalam benak mereka, tak satupun hadits yang dapat digunakan langsung untuk menjawab persoalan itu.

Ketika majelis itu terjeda hening karena tetap tak ada jawaban yang dinantikan, tetiba masuklah Imam Abu Tsaur, murid Imam Asy Syafi'i. Di antara ‘ulama yang ada di sana pun lalu menunjuk ke arah beliau sembari berkata kepada tukang memandikan jenazah tersebut, "Tanyakanlah kepada orang yang baru datang itu, sebab dia adalah murid dari pemilik akal separuh penduduk dunia."

Perempuan itupun menoleh dan mendekat kepada sang Imam. Ditanyakannyalah hal serupa yang sungguh merisaukan dirinya, “Bolehkah wanita haidh memandikan jenazah?”

Imam Abu Tsaur tersenyum. “Tentu saja boleh, tidak ada masalah”, ujarnya. “Kamu boleh memandikan jenazah itu dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh ‘Utsman bin Al Ahnaf, dari Al Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakr, dari ‘Aisyah Radhiyallaahu ‘Anha, bahwa Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Adapun haidhnya dirimu bukanlah berada di tanganmu.” Dan juga berdasarkan perkataan Ibunda kita ‘Aisyah, "Aku pernah menyirami, membasuh, dan membersihkan kepala Rasulullah dengan air lalu menyela-nyelai rambut beliau, menyisir, serta meminyakinya. Padahal waktu itu aku dalam keadaan haidh.”

“Apabila kepala orang hidup saja, dan bahkan adalah Nabi”, simpul Imam Abu Tsaur, “Boleh disiram, dibasuh, dan dibersihkan oleh wanita yang sedang haidh, apalagi orang yang sudah mati. Tentu kebolehannya lebih jelas lagi.”

Mendengar jawaban yang sangat jeli itu, serta-merta para ahli hadits yang hadir waktu tersebut berebutan membacakan hadits yang telah disebutkan oleh Abu Tsaur dari segala thuruq atau jalur periwayatan yang ada pada mereka. Salah satunya berkata, “Telah menceritakan si Fulan kepadaku..” Yang lain menimpali, “Kami mengenalnya melalui riwayat si Fulan..” Sampai akhirnya mereka membahas derajat berbagai macam riwayat hadits tersebut.

Melihat hal ini, si tukang memandikan jenazah berkata heran, "Aduhai.. Ke mana saja kalian sebelum ini?"

Kisah ini sama sekali bukan dalam rangka merendahkan kedudukan para Imam Ahlil Hadits yang mulia. Tidak. Ini hanya, gambaran penting atas apa yang disampaikan Al Imam Asy Syafi'i. Beliau menyatakan bahwa Ahli Fiqih bagaikan dokter yang bukan hanya tahu tentang khazanah obat, melainkan juga kondisi pasiennya. Sementara itu para Ahli Hadits adalah apotekernya.

Sudah seharusnya mereka bekerjasama, bukan saling menjauh dan saling mengatakan bahwa yang satu tak paham obat, yang lain tak mengerti pasien. Atau mengatakan bahwa Ahli Fiqih banyak membuat bid'ah, padahal sebenarnya pendapat mereka berdasar sumber yang shahih tapi disesuaikan dosisnya dengan kondisi masyarakat pada waktu dan tempat tertentu. Atau mengatakan bahwa Ahli Hadits menyusahkan orang, padahal mereka memang hanya memberikan obat dengan dosis yang belum ditulis.

Maka dalam menjawab persoalan ummat, keduanya amat dihajatkan. Sebab ada juga waktu di mana seorang Ahli Hadits sekaligus Ahli Fiqih harus meluruskan berlebihannya orang dalam beragama, agar tak menyusahkan diri dalam apa yang syari'at memberi keluasan padanya.

“Wahai Imam”, ujar seseorang pada 'Alimnya Tabi'in Kufah, Amir ibn Syurahbil Asy Sya'bi, “Jikalau aku mandi di sebuah sungai, maka ke manakah aku harus menghadap? Apakah ke arah kiblat, membelakanginya, atau menghindar dari arah keduanya? Dan bagaimana pula jika suatu kali aku tak tahu di mana arah kiblat?”

Imam Asy Sya’bi tersenyum. “Menghadaplah ke arah di mana pakaianmu kau letakkan”, ujarnya lembut, “Agar jangan sampai ia terhanyut atau diambil orang.”
Share:

Keluarga Kesatria

Oleh Ustadz Danang Kuncoro Wicaksono

Najmuddin Ayyub, penguasa Tikrit saat itu belum menikah dalam waktu yang lama. Saudaranya yang bernama Asaduddin Syerkuh bertanya:

“Saudaraku, mengapa kamu belum menikah?”

Najmuddin menjawab, “Aku belum mendapatkan yang cocok.”

“Maukah aku lamarkan seseorang untukmu?”

“Siapa?”

“Puteri Malik Syah, anak Sultan Muhammad bin Malik Syah, Raja bani Saljuk atau putri Nidzamul Malik, dulu menteri dari para menteri agung zaman Abbasiyah.”

Najmuddin berkata, “Mereka tidak cocok untukku.”

Heranlah Asaduddin Syerkuh. Ia berkata, “Lantas, siapa yang cocok bagimu?”

Najmuddin menjawab, “Aku menginginkan istri yang salihah yang bisa menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia tarbiyah dengan baik hingga jadi pemuda dan ksatria serta mampu mengembalikan Baitul Maqdis ke tangan kaum muslimin.”

Waktu itu, Baitul Maqdis dijajah oleh pasukan salib dan Najmuddin masa itu tinggal di Tikrit, Irak, yang berjarak jauh dari lokasi tersebut. Namun, hati dan pikirannya senantiasa terpaut dengan Baitul Maqdis.

Impiannya adalah menikahi istri yang salihah dan melahirkan ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis ke pangkuan kaum muslimin.

Asaduddin tidak terlalu heran dengan ungkapan saudaranya, ia berkata, “Di mana kamu bisa mendapatkan yang seperti ini?”

Najmuddin menjawab, “Barang siapa ikhlas niat karena Allah, akan Allah karuniakan pertolongan.”

Maka, pada suatu hari, Najmuddin duduk bersama seorang Syaikh di masjid Tikrit dan berbincang-bincang. Datanglah seorang gadis memanggil Syaikh dari balik tirai dan Syaikh tersebut minta izin Najmuddin untuk bicara dengan si gadis.

Najmuddin mendengar Syaikh berkata pada si gadis, “Kenapa kau tolak utusan yang datang ke rumahmu untuk meminangmu?”

Gadis itu menjawab, “Wahai, Syaikh. Ia adalah sebaik-baik pemuda yang punya ketampanan dan kedudukan, tetapi ia tidak cocok untukku.”

Syaikh berkata, “Siapa yang kau inginkan?”

Gadis itu menjawab, “Aku ingin seorang pemuda yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan darinya anak yang menjadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin. Dia cocok untukku!"

Najmuddin bagai disambar petir saat mendengar kata-kata wanita dari balik tirai itu.

Allahu Akbar! Itu kata-kata yang sama yang diucapkan Najmuddin kepada saudaranya. Sama persis dengan kata-kata yang diucapkan gadis itu kepada Syaikh.

Bagaimana mungkin ini terjadi kalau tak ada campur tangan Allah yang Maha Kuasa? Najmuddin menolak putri Sultan dan Menteri yang punya kecantikan dan kedudukan. Begitu juga gadis itu menolak pemuda yang punya kedudukan dan ketampanan.

Apa maksud ini semua? Keduanya menginginkan tangan yang bisa menggandeng ke surga dan melahirkan darinya ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.

Seketika itu Najmuddin berdiri dan memanggil sang Syaikh, “Aku ingin menikah dengan gadis ini.”

Syaikh mulanya kebingungan. Namun, akhirnya beliau menjawab dengan heran, “Mengapa? Dia gadis kampung yang miskin.”

Najmuddin berkata, “Ini yang aku inginkan. Aku ingin istri salihah yang menggandeng tanganku ke surga dan melahirkan anak yang dia didik jadi ksatria yang akan mengembalikan Baitul Maqdis kepada kaum muslimin.”

Maka, menikahlah Najmuddin Ayyub dengan gadis itu.

Tak lama kemudian, lahirlah putra Najmuddin yang menjadi ksatria yang mengembalikan Baitul Maqdis ke haribaan kaum muslimin. Anak itu lahir di benteng Tikrit, Irak tahun 532 H/1137 M. Namanya adalah Yusuf bin Najmuddin al-Ayyubi atau lebih dikenal dengan nama SHALAHUDDIN AL AYYUBI (صلاح الدین ایوبی).

Dikutip dari Talkhis Kitabush Shiyam min Syarhil Mumti’ karya Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin رحمه الله.

Share:

Konsepsi Ketuhanan dalam Islam

Oleh : Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc., M.A
(Ketua PP MUhammadiyah)

 بسم الله الرّحمن الرّحيم

DIA lah HU ALLAH yang esa yang patut disembah, tidak berputra dan tidak diputrakan

Masalah ketuhanan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Sadar atau tidak, semua orang pasti bertuhan dan melakukan penyembahan terhadap tuhannya itu. Persoalannya adalah tuhan yang disembahnya itu apakah Tuhan yang sebenarnya, yaitu Tuhan yang mencipta dan mengatur alam semesta, atau tuhan yang justru diciptakan oleh manusia?

Dalam perspektif Islam, pengakuan adanya Tuhan sudah ada pada diri manusia semenjak dia belum dilahirkan.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”
(Qs. Al-A’raf 172).

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa sejak dalam alam rahim, sebelum ruh ditiupkan ke dalam tubuh, manusia sudah mengakui Allah sebagai Tuhannya. Oleh Ibnu Katsir meng hubungkan ayat ini dengan Surat Ar-Rum ayat 30 yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan dengan fitrah mengakui keesaan  Allah SWT.

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui” (Qs. Ar-Rum 30).

Fitrah bertuhan yang dibawa manusia sejak sebelum lahir itu barulah merupakan potensi dasar yang harus dipe lihara dan dikembangkan. Apabila fitrah tersebut tertutup oleh beberapa faktor luar, manusia akan lari dan menentang fitrahnya sendiri. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menyatakan betapa besarnya peran orang tua dalam memelihara dan mengarahkan fitrah tersebut supaya tetap dalam keislamannya.

“Tidak seorang pun yang lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka ibu bapaknyalah (yang akan berperan) menjadikan anak itu menjadi seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi…” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Jadi, secara esensi, tak ada seorang pun yang tidak bertuhan. Yang ada hanyalah mereka memper tuhankan sesuatu yang bukan Tuhan yang sebenarnya, yaitu Allah. Dalam perspektif inilah kita menempatkan bahwa seorang ateis pun bertuhan, karena mereka mempertuhankan faham atau ideologi anti tuhan (ateisme).

Tanpa bimbingan wahyu yang diturunkan Allah SWT melalui para rasul-Nya, fitrah bertuhan itu akan disalurkan oleh manusia sesuai dengan pengalaman dan perkembangan akal pikirannya. Tatkala secara evolusi, melalui pengalaman, manusia sampai kepada faham satu tuhan, tetapi karena tidak ada bimbingan wahyu, tuhan yang mereka yakini itu bermacam-macam jenis dan namanya. Demikian pula ritual penyembahan tuhan itu pun beragam.

Bagaimana Islam memandang fenomena satu tuhan tetapi banyak jenis dan nama serta beragam cara penyembahannya itu ? Apakah keimanan mereka seperti itu dapat diterima dan dibalasi oleh Allah SWT di Akhirat nanti dengan surga? Tentu saja Islam tidak mengakuinya, karena yang menjadi pusat dan landasan segala sesuatu dalam Islam adalah tauhidullah (la ilaha illallah). Islam tidak hanya mengajarkan bahwa Tuhan itu Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, tetapi juga menjelaskan nama-nama, sifat-sifat dan bagaimana cara mengesakan-Nya. Dengan sangat tegas Allah berfirman:

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku” (Qs. Thaha 14).

“Hanya milik Allah al-asma’-al-husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut al-asma’-al-husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan” (Qs. Al-A’raf 180).

Tauhid merupakan ajaran sentral seluruh Nabi-nabi mulai dari Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW. Semua rasul yang diutus oleh Allah SWT selalu mengajak umatnya untuk hanya menyembah Allah SWT semata. Allah berfirman:

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu”, maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)” (Qs. An-Nahl 36).

Ayat di atas menjelaskan bahwa tidak semua manusia mau menerima seruan para rasul, sebagian tetap dengan kesesatan mereka. Sementara di antara yang beriman pun, dalam perkembangannya ada yang menyimpang dari ajaran Tauhid, seperti yang dilakukan oleh  orang-orang Yahudi dan Nasrani yang masing-masing meyakini ‘Uzair dan Isa Al-Masih sebagai putra Allah. Al-Qur`an mengoreksi keyakinan yang sesat tersebut:

“Orang-orang Yahudi berkata: “Uzair itu putra Allah” dan orang Nasrani berkata: “Al Masih itu putra Allah”. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?” (Qs. At-Taubah 30).

“Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih”
(Qs. Al-Ma`idah 73).

Jelaslah bahwa konsep ketuhanan yang benar hanyalah yang berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah, bukan konsep ketuhanan yang dibuat oleh manusia. Pluralitas ketuhanan dalam sejarah tidak hanya sekadar perbedaan nama dan cara bertuhan, tetapi juga substansi ketuhanan. Jika hanya sekadar bahasa, misalnya dalam bahasa Indonesia kata rabb dan ilah kita terjemahkan dengan Tuhan, atau dalam bahasa Inggris disebut God, tentu tidak jadi masalah, karena yang dimaksud dengan tuhan dan God itu adalah Allah SWT. Tetapi jika perbedaannya sampai kepada sifat dan af’al Tuhan, apalagi satu sama lain saling bertentangan, tentu perbedaan seperti itu tidak dapat dibenarkan.

Maka logika “yang penting bertuhan, soal nama dan cara bertuhan terserah kepada keyakinan dan kultur masing-masing,” tentu saja bertentangan dengan pandangan Islam.

Teori Kebenaran Agama

Islam adalah satu-satunya agama yang diturun  kan dan diridhai Allah SWT untuk umat manusia. Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, niscaya tidak akan diterima oleh Allah SWT. Doktrin ini ditegaskan Allah dalam dua ayat berikut ini:

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya”
(Qs. Ali Imran 19).

“Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di Akhirat termasuk orang-orang yang merugi” (Qs. Ali Imran 85).

Seluruh Nabi dan Rasul yang diutus oleh  Allah SWT membawa agama yang sama yaitu Islam. Dengan demikian seluruh nabi-nabi dan para pengikutnya adalah Muslimun. Tatkala orang-orang Yahudi dan Nasrani berebut mengklaim bahwa Nabi Ibrahim adalah pemeluk agama mereka, Allah membantahnya dan mengatakan bahwa Ibrahim itu Muslim.

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang Hanif dan Muslim dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik” (Qs. Ali Imran 67).

Nabi Ibrahim dan juga Nabi Ya’qub telah memesankan kepada anak-anaknya untuk menjadi orang-orang Islam.

“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub, “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam” (Qs. Al-Baqarah 132).

Perbedaan ajaran yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul dari masa ke masa hanyalah dari aspek syariat, bukan dalam aspek akidah dan informasi tentang alam semesta. Allah berfirman:

“…Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang...” (Qs. Al-Ma`idah 48).

Sebagai Nabi dan Rasul yang terakhir, Nabi Muhammad SAW membawa syariat (baca: agama) yang telah disempurnakan dan dinyatakan oleh Allah sebagai agama yang diridhai-Nya untuk seluruh umat manusia sampai Hari Akhir nanti. Allah berfirman:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan bagimu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agama bagimu…” (Qs. Al-Ma`idah 3).

Sebagai konsekuensi dari doktrin bahwa hanya Islamlah satu-satunya agama yang diridhai Allah SWT, maka otomatis agama-agama lain yang dianut dan diyakini oleh sebagian umat manusia ditolak kebenarannya, bukan keberadaannya. Sekali lagi, yang ditolak adalah kebenarannya, bukan keberadaannya! Keberadaannya tidak ditolak karena Allah tidak mau memaksa manusia untuk memeluk agama Allah. Islam mengajarkan kebebasan memilih agama. Hanya saja jika manusia memilih agama selain Islam, di Akhirat nanti mereka termasuk orang-orang yang merugi.

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (Qs. Al-Baqarah 256).

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (Qs. Yunus 99).

Jika kebenaran agama-agama lain selain  Islam ditolak, bagaimana kita memahami firman Allah berikut ini?

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (Qs. Al-Baqarah 62).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa ayat ini turun dilatarbelakangi oleh pertanyaan Salman al-Farisi kepada Rasulullah SAW tentang teman-temannya dalam agama yang dipeluknya sebelum Islam. Teman-teman Salman itu mengerjakan ibadah shalat dan puasa menurut syariat yang berlaku sebelum Nabi diutus dan juga percaya dan memberikan kesaksian bahwa Nabi Muhammad akan diutus. Setelah Salman selesai memuji teman-temannya, Rasulullah menyatakan: “Hai Salman, mereka termasuk penghuni neraka.” Jawaban Rasulullah SAW itu terasa berat bagi Salman. Dalam pikiran Salman tentu timbul pertanyaan, kenapa harus masuk neraka padahal mereka telah beriman dan menjalankan syariat yang berlaku waktu itu. Andaikata mereka ber temu dengan Nabi seperti halnya Salman, tentu mereka akan ber iman juga. Kega lauan hati Salman itu dijawab oleh Allah dengan menu run kan ayat ini.

Setiap pemeluk agama Allah yang hidup pada zaman Rasul-rasul terdahulu atau sebelum Nabi Muham mad diutus, jika mereka benar-benar beriman dengan Allah dan Hari Akhir dan mengerjakan amal shaleh sesuai syariat yang berlaku waktu itu, tentu mereka akan men dapatkan ganjarannya, sama seperti ganjaran yang didapat oleh orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad SAW setelah beliau diutus. Andaikata orang-orang Yahudi dan Nasrani benar-benar mengimani dan mengikuti ajaran Taurat dan Injil sebagai kitab suci mereka, tentu mereka akan beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW yang telah diberitakan kedatangannya dalam dua kitab suci tersebut. Karena Nabi Muhammad SAW diutus sebagai penutup dari rantaian Nabi-nabi dan Rasul-rasul sebelum nya yang kesemuanya membawa misi yang sama yaitu beribadah kepada Allah dan menjauhi Thaghut.

Itulah yang dilakukan oleh Abdullah Bin Salam dan Ubayya bin Ka’ab dari komunitas Yahudi Madinah, Tamim ad-Dari dan Adi bin Hatim dari komunitas Nasrani Madinah serta Raja Najasyi dari Habsyah. Itu jugalah yang dilakukan oleh Salman Al-Farisi yang sebelum masuk Islam adalah seorang pemeluk Nasrani dan pernah berguru kepada pendeta Buhaira.

Andaikata orang-orang Yahudi dan Nashrani yang mengaku beriman dengan Allah dan Hari Akhir tidak mau beriman dengan Nabi Muham mad SAW, maka mereka tidak termasuk yang mendapatkan janji Allah dalam ayat di atas (untuk mendapatkan pahala dari iman dan amal shalih nya), karena klaim keimanan mereka tidak benar dengan menolak kerasu lan Nabi Muham mad SAW. Dalam konteks inilah Nabi bersabda:
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau bersabda: “Demi Zat Yang diri Muhammad berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang pun Yahudi dan Nasrani dari umat ini yang mendengar aku kemudian meninggal dunia dan dia belum beriman dengan kerasulanku kecuali dia termasuk penghuni neraka” (H.R. Muslim).

Di samping itu, memahami Surat Al-Baqarah ayat 62 haruslah dalam kesatuan ajaran Al-Qur`an. Bukankah ayat-ayat Al-Qur`an satu sama lain saling menafsirkan. Hubungkan juga penafsiran ayat ini dengan ayat-ayat tentang iman dengan segala kriteria dan konsekuensinya. Apakah keimanan orang-orang Yahudi dan Nasrani sekarang ini sudah sesuai dengan kriteria keimanan yang dijelaskan dalam banyak sekali ayat-ayat Al-Qur`an? Siapa saja yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW, termasuk Ahlul Kitab, masuk dalam kategori penghuni neraka sebagaimana yang ditegaskan Allah dalam Surat Al-Bayyinah ayat 6:

“Sesungguhnya orang-orang kafir yakni ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahanam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.”

Jadi, Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang tidak beriman dengan kerasulan Nabi Muhammad SAW tidaklah yang termasuk dalam pengertian Surat Al-Baqarah 62, sehingga di akhirat kelak mereka tidak termasuk golongan yang selamat dari api neraka.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “kebenaran agama secara total” hanya ada pada Islam, sebagai satu-satunya agama Allah. Yang dimaksud dengan “secara total” adalah apabila kita menimbang dan menilai satu agama secara totalitas, bukan secara parsial. Hal ini berarti  Islam tidak menafikan “kebenaran parsial” yang ter dapat dalam agama-agama lain, terutama dari aspek muamalah dalam pengertian yang lebih luas, yaitu hubungan antara sesama manusia dan hubungan antara manusia dengan alam. Ajaran cinta kasih, tolong menolong, solidaritas, per satuan, keadilan, kejujuran, kebersihan, disiplin, menuntut ilmu, bekerja dengan rajin dan giat, memelihara lingkungan dan lain sebagainya akan kita temukan tidak hanya dalam ajaran Islam semata, tetapi juga pada ajaran agama-agama lain.

Dalam aspek muamalah ini Islam bersikap fleksibel, semua yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam dapat diterima sebagai sebuah kebenaran. Dalam perspektif seperti itu kita menilai kebenaran yang terdapat dalam berbagai macam agama, bukan dalam pengertian totalitas sebagai agama.

Ada pandangan yang mengibaratkan agama sebagai “kendaraan menuju satu tujuan,” Pandangan ini menyatakan bahwa yang penting adalah tujuan yang sama, sedangkan kendaraan yang dinaiki dan jalan yang ditempuh boleh berbeda-beda, toh pada akhirnya semua akan sampai di tempat yang sama.

Pandangan ini tentu saja tidak dapat diterima oleh Islam. Dalam perspektif  Islam, perbedaan kendaraan dan jalan yang ditempuh itu memang dibolehkan, asal semua kendaraan yang dinaiki itu laik jalan, sehingga dapat mengantarkan ke tujuan dengan selamat dan jalan yang ditempuh pun menuju ke arah yang sama.

Apabila ajaran Islam dipelajari dengan baik dan rinci, kita akan mengetahui bagian mana yang tidak boleh berbeda dan bagian mana pula yang memberikan keleluasaan untuk berbeda. Bagian-bagian yang boleh berbeda itu sajalah yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang beragam untuk mencapai tujuan. Misalnya, model bangu nan masjid boleh beragam, asal semuanya meng hadap kiblat. Warna pakaian boleh berbeda, asal semua menutup aurat. Model masjid dan pakaian dalam hal ini adalah dua contoh keraga man yang dibenarkan, yang dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan yang berbeda itu, tetapi shalat menghadap kiblat dan menutup aurat adalah dua hal yang tidak dapat diibaratkan kendaraan dan jalan yang boleh berbeda, karena perbedaannya bersifat substantif.

Dua contoh ini cukup untuk sekadar ilustrasi bahwa dalam Islam ada ajaran yang statis, tsabit, tidak dapat dirubah dan berbeda, dan ada juga ajaran yang dinamis yang dapat menerima perobahan dan perbedaan.

Tidak semuanya dapat diibaratkan dengan kendaraan dan jalan untuk mencapai satu tujuan, apalagi menyamakan persoalan ketuhanan, kerasulan dan kitab suci sebagai hanya sekadar kendaraan dan jalan. Analogi seperti itu adalah analogi yang sangat lemah, baik dari segi logika maupun teologi.
—------------------—
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ  ۙ 
=================================
Sumber :Majalah Bulanan TABLIGH {www.alsofwah.com}
Share:

Friday 18 March 2016

Keutamaan Menyingkirkan Gangguan Dari Jalan

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa di antara cabang keimanan adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Beliau menuturkan bahwa amalan ringan tersebut merupakan cabang keimanan yang paling rendah. Perhatikan riwayat berikut:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْإِيْـمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيْـمَانِ.

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Iman itu ada tujuh puluh atau enam puluh sekian cabang. Cabang yang paling utama adalah ucapan Laa ilaaha illaAllah (tiada sesembahan yang haq selain Allah), sedangkan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.” (HR. al-Bukhari & Muslim)

Namun, di balik itu, ternyata amalan ringan yang merupakan cabang keimanan paling rendah ini dapat mendatangkan keutamaan yang sangat didambakan seorang muslim. Apa itu? Satu kata, “SURGA”.

Di bawah ini beberapa hadis yang menjelaskan keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalan. Semoga bermanfaat.

💧 HADIS PERTAMA

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنُ فَرُّوْخَ أَنَّهُ سَمِعَ عَائِشَةَ تَقُوْلُ: إِنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِيْ آدَمَ عَلَى سِتِّيْنَ وَثَلَاثِ مِائَةِ مَفْصِلٍ، فَمَنْ كَبَّرَ اللَّهَ وَحَمِدَ اللَّهَ وَهَلَّلَ اللَّهَ وَسَبَّحَ اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ اللَّهَ وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ شَوْكَةً أَوْ عَظْمًا عَنْ طَرِيقِ النَّاسِ وَأَمَرَ بِمَعْرُوفٍ أَوْ نَهَى عَنْ مُنْكَرٍ عَدَدَ تِلْكَ السِّتِّيْنَ وَالثَّلَاثِ مِائَةِ السُّلَامَى فَإِنَّهُ يَمْشِيْ يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زَحْزَحَ نَفْسَهُ عَنْ النَّارِ.

Dari Abdullah bin Farrukh bahwasanya ia mendengar Aisyah berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya setiap manusia dari Bani Adam diciptakan dengan tiga ratus enam puluh (360) persendian. Siapa yang bertakbir (Allahu akbar), memuji Allah (alhamdulillah), bertahlil (laa ilaaha illaAllah), bertasbih (subhaanAllah), beristighfar kepada Allah, menjauhkan batu dari jalanan orang, duri atau tulang dari jalanan orang, beramar makruf nahi munkar (memerintahkan kepada kebaikan dan melarang kemungkaran) sejumlah tiga ratus enam puluh persendian itu, maka ia berjalan pada hari itu sedangkan ia benar-benar telah menjauhkan dirinya dari neraka.” (HR. Muslim)

💧 HADIS KEDUA

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

لَقَدْ رَأَيْتُ رَجُلًا يَتَقَلَّبُ فِي الْجَنَّةِ فِي شَجَرَةٍ قَطَعَهَا مِنْ ظَهْرِ الطَّرِيْقِ كَانَتْ تُؤْذِيْ النَّاسَ.

"Sungguh aku benar-benar melihat seorang berguling-guling di surga (merasakan kenikmatannya) disebabkan sebuah pohon yang ia potong dari tengah jalan yang sebelumnya mengganggu manusia.” (HR. Muslim)

💧 HADIS KETIGA

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَرَّ رَجُلٌ بِغُصْنِ شَجَرَةٍ عَلَى ظَهْرِ طَرِيْقٍ، فَقَالَ: وَاللَّهِ لَأُنَحِّيَنَّ هَذَا عَنْ الْمُسْلِمِيْنَ لَا يُؤْذِيْهِمْ، فَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ.

Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengatakan: “Ada seseorang melewati sebuah pohon yang ada di tengah jalan, lalu ia berkata: ‘demi Allah, aku benar-benar akan menyingkirkannya dari kaum muslimin agar tidak mengganggu mereka,’ lalu orang itu dimasukkan ke dalam surga.” (HR. Muslim)

Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan keutamaan besar dengan amalan ringan ini. Dengan membaca beberapa hadis di atas dan merenungi keutamannya, semoga diri kita termotivasi untuk mengamalkannya. Terlihat ringan, namun besar keutamannya.

Semoga Allah memberikan kemudahan kepada kita untuk membiasakan diri menyingkirkan gangguan dari jalan, apapun bentuknya. Allahumma aamiin.

Via Telegram @iccdammamksa
Share:

Wednesday 16 March 2016

BAHAYA PEMAHAMAN PARSIAL TERHADAP ISLAM

Di antara bahaya-bahaya atas pemahaman seseorang yang parsial (tidak menyeluruh) terhadap agama Islam adalah sebagai berikut:

1. Pemahaman parsial terhadap Islam akan menyempitkan Islam pada sisi tertentu sehingga Islam seakan hanya agama ritual yang beku di pojok masjid. Sementara urusan sosial, ekonomi, politik dan negara dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam.

2. Pemahaman parsial akan pojokkan sunnah Nabi hanya sekitar shalat, jenggot dan lain sebagainya. Sementara sunnah Nabi yang besar di mana Nabi tidak hanya memimpin shalat tetapi juga memimpin pasar, pasukan dan negara, itu tidak diutamakan. Akibatnya sibuk menyerang sesama muslim sekitar ritual dan tampilan saja.

3. Pemahaman parsial cendrung ekstrim. Sebab dianggap Islam sangat kecil urusanya. Dari sini muncul penyimpangan-penyimpangan dalam akidah, ibadah dan bahkan permusuhan. Sebab dari sikap ekstrim akan muncul fanatisme golongan. Akibatnya warisan ilmu Islam yang agung diabaikan begitu saja.

4. Pemahaman Islam parsial cendrung membuat definisi yang parsial. Seperti seorang buta mendefinisikan gajah. Satunya mengatakan gajah itu seperti kipas karena yang ia sentuh hanya telinganya. Satunya mengatakan gajah itu seperti tiang karena yang ia sentuh kakinya. Satunya mengatakan gajah itu seperti cemeti karena yang ia sentuh belalainya. Akhirnya saling menghakimi dan saling menyalahkan. Padahal semuanya salah.

5. Pemahaman Islam parsial tidak akan bedakan mana ushul mana furu'. Maka semua dianggap ushuul. Akibatnya yang furuiyah diserang habis. Dengan alasan tidak ada dalilnya. Dan pelaku furuiyah dianggap sesat. Padahal kaidah ushul fikih mengataka, "Laa inkaara fil mukhtalaf fiihi. Tidak boleh ada pengingkaran dalam maslaah khilafiyah."

6. Dari sini kita paham mengapa Allah berfirman, "Udkhuluu fissilmi kaafah. Masuklah Islam secara kseluruhan bukan sebagian-sebagian." Lalu berfirman, "Walaa tattabi'uu khuthwaatisy syaithan. Dan janganlah ikuti langkah-langkah syetan." Sebab setiap pemahaman  yang tidak kaffah akan  mudah dipermainkan syetan.

Semoga Allah berkahi umat ini. Ayo kita bersatu agar kita kuat!

Oleh Ustadz Dr. Amir Faishol Fath 
Share: